AIR mata Harianti (48) tak terbendung saat menceritakan dan mengingat kembali peristiwa yang dialami 7 anggota keluarganya setahun lalu. Sesekali ia menghirup kuat cairan yang juga mengalir dari sela-sela lubang hidungnya.
“Aku stress saat mendengar kabar bapak (suami), anak, menantu, keponakan dan adik-adik dibawa polisi ke Mukomuko. Habis sudah laki-laki di keluargaku diangkut polisi. Selama mereka ditahan 12 hari aku tak bisa makan. Aku di rumah mengasuh cucu yang masih Balita karena ibunya pergi ke Mukomuko melihat suami, ayah dan sudara-saudara di kantor polisi. Tidak ada yang tahu kalau aku tak bisa makan sesuap pun saat itu,” kata ibu empat anak ini di kediamannya, Sabtu, 3 Juni 2023.
Tujuh orang anggota keluarga Harianti yang ditahan tersebut adalah Zarkawi (suami), Parades (anak pertama), Wahyu (anak kedua), Hajri Mukmin (menantu), Ahmad B (adik), Gunawan (keponakan), Endi (keponakan).
Selama ditahan, Sumi anak ketiganya, selalu mengunjungi anggota keluarga di penjara Polres Mukomuko dengan mengendarai sepeda motor.
“Aku yang menunggu rumah dan anak Sumi,” lanjut Harianti terbata-bata sembari menyeka air mata dengan kain yang ia pegang.
Di tempat terpisah Sumi (23), anak ketiga Harianti dan Zarkawi yang suaminya, Hajri ikut ditahan polisi mengisahkan bagaimana perjuangannya ke Mukomuko dari desanya. Dengan kendaraan roda dua, ia berangkat ke Mukomuko sendiri. Jarak tempuh dengan kecepatan sedang sekitar 5 jam. Tiga kali ia bolak-balik Malin Deman-Mukomuko.
“Selama anggota keluargaku ditahan, lebih kurang 9 hari aku berada di Mukomuko. Tinggal di rumah saudara. Seminggu dua kali diberi kesempatan untuk melihat bapak, suami dan saudara di dalam penjara. Aku bawakan mereka makanan. Tak tahu cukup atau tidak makanan yang aku bawa itu,” ucap Sumi sambil tersenyum kecut.
Peristiwa itu cukup membekas di ingatannya. Putri satu-satunya yang masih berusia 2 tahun, terpaksa ia titipkan ke ibunya. Untung saja rumah Sumi dan Harianti berdekatan. Sehingga sang ibu selain menjaga anaknya, juga bisa menjaga rumah yang ia tinggalkan.
Peristiwa penangkapan 40 warga Malin Deman pada 12 Mei 2022, begitu memilukan bagi Harianti. Mungkin juga bagi keluarga lain yang senasib dengannya.
Malin Deman adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu dengan luas mencapai 861.79 km2. Kecamatan ini termasuk kecamatan terluas hasil pemekaran dari Kecamatan Ipuh pada 2006. Terdapat 7 desa di kecamatan tersebut, dua diantaranya adalah desa transmigrasi.
Lima desa yang dihuni oleh masyarakat adat Pekal adalah Desa Talang Baru, Desa Air Merah, Desa Talang Arah, Desa Lubuk Talang dan Desa Serambi Baru. Selain ada Kepala Desa (Kades), di desa ini ada juga Pucuk Adat dengan struktur adat. Sedangkan dua desa transmigrasi yaitu, Desa Semambang Makmur dan Desa Gajah Makmur, tidak memiliki struktur adat.
Penangkapan dan penahanan 40 masyarakat adat Pekal oleh Polisi merupakan buntut dari konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan PT Daria Dharma Pratama (DDP). Konflik ini sudah berlangsung lama, sejak perusahaan tersebut masuk di tahun 2005.
Lahan yang diklaim PT DDP sebelumnya adalah lahan Hak Guna Usaha (HGU) PT Bina Bumi Sejahtera (PT BBS). Lantaran ditinggalkan oleh PT BBS, PT DDP datang mengambil alih sebagain HGU PT BBS melalui proses yang diduga tidak sesuai ketentuan hukum berlaku.
DPRD Mukomuko sempat mempertanyakan legalitas PT DDP di lahan HGU PT BBS pada tahun 2012. Namun PT DDP mengaku mereka memiliki akte pinjam pakai dengan PT BBS.
Menurut Zarkawi (54), pada hari nahas tersebut, ia bersama puluhan masyarakat sedang membersihkan lahan dan memanen sawit yang sejak ditelantarkan ia rawat. Sawit tersebut berada di lahan garapannya dulu.
Lahan seluas 4 ha itu sudah ia kelola sejak tahun 1998. Ia menanaminya dengan tanaman karet, kopi, jengkol dan nilam. Namun perusahaan masuk menggusur lahan garapannya yang kemudian ditanami dengan sawit. Setelah lahan tersebut ditinggalkan perusahaan, Zarkawi dan masyarakt lainnya kembali ke lahan mereka dan mengelolanya.
“Kami merasa itu lahan kami. Tak sampai dua jam kami bekerja, aparat berseragam lengkap dengan senjata datang dan menanyakan sedang apa kami di situ? Kami jawab bahwa kami menggarap lahan. Lalu aparat berkata “Kamu ini maling!” ungkap Zarkawi saat dijumpai di rumahnya berdinding papan di Desa Talang Arah, Kecamatan Malin Deman, Kabupaten Mukomuko.
Aparat yang jumlahnya lebih dari 80 orang itu, kata Zarkawi, langsung mengumpulkan semua masyarakat yang ada di lahan itu dan diminta untuk buka baju. Mereka lalu diikat, dibariskan dan dimasukkan ke truk kemudian dibawa ke Polres Mukomuko. Tidak ada perlawanan dari 40 orang warga Malin Deman.
“Saat itu yang kupikir, apapun yang terjadi kami tetap mempertahankan hak kami,” kenang Zarkawi.
Setelah berbagai proses pemeriksaan, atas upaya pemerintah daerah Bengkulu dan DPRD, akhirnya 40 masyarakat adat Pekal tersebut dibebaskan setelah 12 hari dipenjara.
“Sejak saat itu kami tidak pernah lagi ke kebun. Kami takut. Kami sedang mencari celah untuk merebut tanah itu kembali. Kami merasa hak kami dirampas dan di penjara dan kami harus merebut. Saya merasa sampai kini kami belum mendapat keadilan,” kata Zarkawi dengan nada nelangsa.
Zarkawi adalah satu dari banyak petani Malin Deman yang terusir dari lahan kelolanya. Sumber ekonomi dan penghidupan mereka hilang. Kini ia menjadi buruh lepas di kebun-kebun milik masyarakat yang ada di sekitar desanya.
“Sejak PT DDP mengambil alih kelola PT BBS, konflik dengan masyarakat sering terjadi,” kata Lobian Angrianto, anak muda yang aktif memperjuangkan tanah kelola masyarakat Malin Deman. Ia juga salah satu dari 40 orang yang ikut ditahan Polisi, setahun lalu. Ia bahkan dituding sebagai provokator.
Dijelaskan Lobian, sebelum PT DDP hadir, masyarakat berkonflik dengan PT BBS. Kebakaran lahan sempat terjadi pada tahun 1996 yang diduga lantaran ulah perusahaan. Masyarakat yang lahannya ikut terbakar menuntut ganti rugi dengan PT BBS, namun tak digubris.
Setelah PT BBS meninggalkan HGU yang luasnya 1.889 ha, PT DDP datang mengambil alih lahan HGU tersebut di tahun 2005. PT DDP mulai menanam sawit sejak tahun 2006 hingga 2011. Jumlah lahan yang berhasil ia tanami seluas 935 ha.
“Tidak ada proses ganti rugi yang jelas dengan masyarakat. Meskipun ada ganti rugi, penerimanya tidak tahu siapa. Sebagian petani yang menolak ganti rugi, diusir paksa oleh perusahaan dari lahan garapan mereka,” ungkap Lobian.
Di tahun 2012, PT DDP pun menelantarkan tanaman sawit yang sudah mereka tanam. Tahu perihal tersebut, masyarakat kembali masuk ke tanah yang semula merupakan lahan kelola mereka. Sawit tersebut dirawat dan dipanen oleh masyarakat.
Akibat seringnya terjadi konflik, masyarakat merasa perlu memperjuangkan haknya. Pada Tahun 2020, masyarakat berinisiatif membentuk Serikat Petani Pejuang Bumi Sejahtera. Anggotanya adalah masyarakat Malin Deman yang berjumlah sekitar 187 orang atau sekitar 58 KK. Sejak berdiri, organisasi tingkat desa ini didampingi oleh LSM AKAR Foundation dari Bengkulu.
Pada Oktober 2021 organisasi ini melakukan kongres pertama dan mengurus badan hukumnya. Sesuai dengan ketentuan, kata serikat diganti dengan perkumpulan, sehingga namanya berubah menjadi Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (P3BS).
Menurut Sekretaris P3BS, Lobian Anggrianto, pasca peristiwa penangkapan 2022 lalu, fokus perjuangan mereka memperoleh hak atas lahan garapan melalui jalur non litigasi.
“Kami pernah melakukan rapat dengan DPRD Kabupaten Mukomuko untuk tidak terjadi bentrok lagi. Sekarang kami fokus pada penyelesaian konflik melalui jalur non litigasi,” ungkap Lobian.
Saat ini, masyarakat sedang berjuang untuk mendapat hak kelola terhadap lahan yang dikuasai PT DDP dalam skema TORA (Tanah Objek Reforma Agraria).
“Yang mereka tanam tersebut kini bermasalah. Hasil kajian Obudsman Bengkulu, peralihan hak dari PT BBS ke PT DDP atas dasar perjanjian pinjam pakai, ternyata tidak sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Tidak ada proses peralihan HGU melalui akta pinjam pakai,” ungkap Lobian.
Kronologis Sengketa
Konflik lahan kelola rakyat versus HGU di Malin Deman sudah berlangsung lama. Dari data yang diekspose Global Mata Angin (GMA), PT Bina Bumi Sejahtera (BBS) telah menggusur lahan kelola masyarakat di tahun 1988, sebelum akhirnya izin HGU perusahaan tersebut terbit di tahun 1995. Sebagian ada ganti rugi terhadap tanaman yang ditanam di lahan bakal konsesi mereka.
GMA adalah salah satu lembaga yang mendampingi P3BS memperjuang tanah kelola masyarakat selain AKAR Foundation, ASM Law Office, Datukultur dan Adatpedia.com
Izin HGU Nomor 43 PT BBS diterbitkan oleh BPN Kabupaten Bengkulu Utara seluas 1.889 ha dengan peruntukan komoditi tanaman cokelat dan kelapa hibrida. Dari luasan tersebut, 350 ha ditanami kakao dan 28 ha ditanami kelapa hibrida. Sedangkan sisa lahannya, masih menjadi lahan garapan masyarakat.
Pada tahun 1997, PT BBS menghentikan kegiatan pengelolaan lahan di Afdeling 7, diduga lantaran bangkrut.
“Masyarakat kembali melakukan aktivitas pengelolaan lahan di lokasi izin HGU PT BBS pada tahun 1997 hingga 2005. Masyarakat menyebut lahan tersebut sebagai lahan terlantar,” kata Direktur Operasional Global Mata Angin, Syafrizaldi Jpang.
PT DDP mulai menguasai HGU yang ditinggal PT BBS di tahun 2005. Mereka melakukan penggusuran paksa lahan kelola Harmadi, Zarkawi, Ahmad B, Damrah, Asendri dan Almazni seluas 15 hektar di Desa Talang Arah, Kecamatan Malin Deman. Perusahaan kemudian menanam sawit di lahan yang digusur tersebut sejak tahun 2006 hingga 2011.
Pada Agustus 2012 sempat terjadi bentrok, perusahaan menggusur paksa petani yang menolak ganti rugi. Tak lama setelah itu, PT DDP menelantarkan tanaman sawit yang sudah mereka tanam.
DPRD Mukomuko mempertanyakan legalitas PT DDP pada Bulan September 2012. Dan diakui PT DDP bahwa pihaknya memiliki akte pinjam pakai dengan PT BBS.
Tahun 2016, masyarakat bersama dengan Forum Kades mensomasi PT DDP terkait penguasaan HGU terlantar milik PT BBS. Somasi tidak ditanggapi
Di akhir tahun 2016, saat masyarakat audiensi dengan DPRD Mukomuko, BPN Mukomuko menyatakan lahan tersebut masih terdaftar sebagai HGU PT BBS dan komoditi yang terdaftar adalah kakao dan kelapa hibrida, bukan sawit.
“Saat itu BPN Mukomuko menyatakan tidak mengetahui keberadaan PT DDP di atas lahan HGU PT BBS. Ia juga tidak tahu tentang proses pinjam pakai antara kedua perusahaan,” jelas Syarizaldi.
Dari audiensi tersebut melahirkan merekomendasikan pembentukan Tim 11 yang terdiri dari 5 orang Kades di Kecamatan Malin Deman, tokoh masyarakat dan anggota DPRD Mukomuko, dan beberapa orang perwakilan masyarakat.
Sekitar empat bulan kemudian, yaitu Januari 2017, terjadi pertemuan ulang di Kantor DPRD Mukomuko. PT DDP menjelaskan sudah memiliki surat pengalihan saham dari PT BBS tanggal 16 November 2016. Pertemuan ini juga merekomendasikan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) DPRD Mukomuko dan rekomendasi kepada Pemerintah Daerah Mukomuko untuk menetapkan status quo lahan HGU PT BBS.
Pada Bulan Juni 2017 Pansus DPRD Mukomuko mengeluarkan rekomendasi yang isinya sebagai berikut;
1) Lahan HGU seluas 1.889 ha yang digarap PT DDP tetap atas nama PT BBS,
2) PT DDP bertanggung jawab menyelesaikan kewajiban terkait perizinan (alih fungsi komoditi),
3) PT DDP bertanggung jawab membuat lahan kas desa seluas 15 ha per desa untuk 5 desa di sekitar HGU di luar areal HGU nomor 34,
4) PT DDP bertanggung jawab untuk ganti rugi bagi masyarakat yang belum mendapatkan,
5) PT DDP menyerap tenaga kerja lokal sesuai kebutuhan dan keahlian,
6) Pemkab Mukomuko bertanggung jawab memfasilitasi dan mendorong realisasi rekomendasi Pansus.
Masyarakat dan Forum Kades Malin Deman pada September 2017 menolak hasil kerja Pansus DPRD karena tidak ada realisasinya
Tiga bulan pasca keluarnya rekomendasi itu sekitar Bulan Januari 2018, Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Perizinan, dan Tenaga Kerja Kabupaten Mukomuko mengeluarkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT DDP. Sementara Kepala Desa Talang Arah merasa tidak pernah memberikan rekomendasi penerbitan IUP PT DDP tersebut. Penolakan tersebut diikuti oleh 5 Kades lainnya (Talang Baru, Air Merah, Serami Baru, Semambang Makmur, dan Lubuk Talang).
Pada Februari 2018, salah seorang mantan anggota DPRD Provinsi Bengkulu ditangkap karena menguasai lahan HGU PT BBS. Sejak itu, mulai banyak masyarakat ditangkap dengan alasan yang sama.
Di pertengahan Tahun 2019 kembali terjadi konflik. PT DDP memanen sawit di kebun yang digarap oleh masyarakat. Mereka mengklaim tanaman sawit tersebut adalah milik PT DDP yang ditanam pada 2006-2011.
PT DDP memanen sawit di lahan garapan Zarkawi, Ahmad B, Almazni, Safi’i secara paksa dengan klaim yang sama pada November 2019. PT DDP juga merusak kebun dan tanaman sawit yang dirawat masyarakat.
Akhirnya pada April 2020, BPN Provinsi Bengkulu bersama PT DDP melakukan pengukuran kadestral. Hasil pengukuran menunjukkan mereka menanam sawit (tahun 2006-2011) pada lahan seluas 935,7357 ha (lahan berkonflik) dari 1.889 ha dengan izin HGU No.34 milik PT BBS. Sisanya 953,2512 ha tidak pernah ditanami oleh PT DDP dan saat ini masih dikuasai masyarakat.
Juli 2020, PT DDP melakukan pemanenan paksa di lahan berkonflik. Adu mulut antara masyarakat yang mengelola lahan tak terhindarkan. Tandan Buah Sawit (TBS) yang berhasil dipanen dibawa oleh PT DDP.
Petani di lahan berkonflik mengirim surat kepada PT DDP untuk membuktikan status legal mereka terhadap HGU terlantar milik PT BBS, membuat tata batas, memperjelas informasi tentang pengelolaan lahan HGU, dan perselisihan dengan petani diselesaikan menurut aturan perundangan yang berlaku.
”Petani di lahan berkonflik itu pun kemudian bersurat kepada Gubernur Bengkulu untuk meminta kejelasan status lahan terlantar HGU PT BBS. Mereka meminta Gubernur Bengkulu mengakui keberadaan petani untuk mengelola lahan tersebut,” lanjut alumni Pertanian Universitas Andalas (Unand) ini.
Petani kemudian membentuk panitia persiapan Pembentukan Perkumpulan Petani di lahan berkonflik. Dan pada Oktober 2021 terlaksanalah Kongres pembentukan Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (P3BS). Pada Mei 2022, terjadi kasus penangkapan 40 orang anggota P3BS lantaran dituduh mencuri sawit milik PT DDP. Mereka ditahan di Polres Mukomuko selama 12 hari. yang akhirnya dibebaskan dengan alasan restorative justice. (bersambung)
Laporan: Winahyu Dwi Utami
Peliputan ini mendapat dukungan dari Adatpedia Journalist Fellowship Bach 2 Tahun 2023