Menjadi petani agaknya tidak harus mempunyai lahan luas milik sendiri. Hutan alam yang dilindungi bisa dimanfaatkan untuk menanam komoditas yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tidak harus membabatnya atau memiliki izin kelola. Dengan membiarkan kawasan hutan sebagaimana adanya, masyarakat bisa menjaga dan meanfaatkan hutan agar tetap lestari.
Penilaian bahwa hutan adalah lahan tak berharga, terlantar dan harus diberdayakan menjadi sebidang kebun atau tanah garapan, sepertinya anggapan yang sudah kadaluarsa. Hutan adalah sumber kehidupan yang memiliki banyak manfaat bagi kehidupan dan penghidupan manusia.
Tanaman Jernang adalah salah satu andalan komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang mulai mendapat perhatian khusus. Bagi masyarakat Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) dan Inderagiri Hulu (Inhu), tanaman endemic ini cukup popular karena memiliki nilai ekonomi tinggi. Harga jual tanaman sejenis rotan ini cukup mahal di pasaran local dan internasional. Dengan merawat dan membudidayakannya di hutan, masyarakat akan mendapatkan cuan yang mampu menambah sumber penghasilan keluarga.
Masyakarat bisa melihat bahwa hasil hutan itu tidak kalah dengan hasil kebun. Dengan melestarikan hutan, hutan akan memberikan manfaat ekonomi luar biasa bagi manusia.
Dulu masyarakat petani susah untuk mengidentifikasi tanaman jernang di hutan dan kesulitan melakukan pembibitkan karena pengetahuan terbatas. Sementara jernang adalah tanaman konservatif yang sangat baik tumbuh di dalam hutan.
Salah satu kawasan yang memiliki tanaman jenis ini dan menjadi tempat budidaya jernang di Kuansing adalah Hutan Lindung Bukit Betabuh. Masyarakat Desa Air Buluh, Kecamatan Kuantan Mudik sejak tahun 2016 mulai membudidayakan dan mengembangkan perkebunan jernang. Mereka tidak hanya menanam di dalam hutan, tetapi juga di sela-sela tanaman karet di kebunnya.
Bagi yang belum mengenal tanaman jernang, jernang adalah sejenis rotan dari marga Daemonorops. Kulit buah tanaman ini menghasilkan produk berupa getah (resin) berwana merah yang dalam dunia perdagangan disebut dragon’s blood. Getah jernang inilah yang dihargai mahal. Pemanfaatannya antara lain untuk bahan baku pewarna dalam industri porselen, marmer dan cat pernis. Di bidang kedokteran Jernang dapat dijadikan bahan obat pendarahan, penyembuhan luka dalam saat operasi maupun luka luar, liver dan hepatitis.
Jernang andalan Kuansing adalah jenis jantung dan jernang beruk. Walaupun dari segi harga kedua jenis ini berbeda jauh. Namun masing-masing punya keunggulan.
Jernang jenis jantung baru bisa dipanen saat usia 4-5 tahun. Sedangkan jenis beruk, saat usia 2 tahun sudah bisa panen. Menanamnya juga sedikit berbeda. Jernang beruk ditanam lebih rapat sedangkan jernang jantung ditanam dengan jarak tanam 10×10 meter persegi. Karena saat ditanam satu batang, bisa tumbuh belasan. Pada luas lahan 1 ha bisa ditanam sebanyak 100 batang jernang jantung dan 400 batang jernang beruk.
Tanaman ini cenderung suka air. Untuk hasil optimal, jernang bisa ditanaman di pinggiran sungai dan terlindung oleh rimbunan pohon.
“Faktor cuaca sangat mempenaruhi hasil panen. Saat musim kemarau dan asap beberapa waktu lalu, buah banyak rontok. Karakter jernang, suka tanah kuning dengan sedikit humus di atas dengan cahaya matahari 50 persen. Terbuka sekali dia tidak mau, tertutup sekali juga tidak mau,” kata Direktur Program Yayasan Hutanriau, Melky.
Hasil juga akan lebih bagus bila dibantu dengan pupuk. Jernang yang ditanam di hutan lindung, tidak dilakukan pemupukan dan perawatan seperti jernang yang ditanam di kebun masyarakat.
Untuk mendapatkan resin yang bagus, buah tidak boleh dipanen terlalu masak. Karena buah yang terlalu masak, resinnya sudah hilang.
Masa produktif tanaman jernang mencapai usia 30 tahun. Harga jual bibit per pohon saat ini Rp40.000 untuk jernang beruk dan Rp100.000 untuk jernang jenis jantung.
Satu pohon jernang jantung mampu menghasilkan buah 5-10 kg dengan harga jual buah Rp250.000 per kg. Lapisan heath atau resinnya dihargai Rp3,5 juta per kg. Untuk mendapatkan 1 kg resin, dibutuhkan 10 kg buah. Bila 1 hektare ada sekitar 200 pohon jernang, bisa dihitung nilai manfaat yang dihasilkan oleh KTH.
Karena harga komoditas ini juga fluktuatif, petani bisa menunda untuk menjual resin mereka bila harga di pasaran sedang turun. KTH pernah menjual hingga 4,8 juta rupiah per kg pada akhir 2018 lalu. Kalau harga murah, masyarakat terkadang menyiasatinya dengan menahan untuk tidak menjual dulu, dan menjualnya kembali ketika harga tinggi. Berbeda dengan tanaman sawit yang harus tetap dijual saat habis panen walaupun harga sedang tidak bagus.
“Panen sekarang bisa dijual 3 tahun lagi, menunggu harga stabil,” kata Melky.
Sekolah Tani Hutan
Kelompok Tani Hutan (KTH) Bukik Ijau di Desa Air Buluh bahkan telah membentuk Sekolah Kelompok Tani Hutan (SKTH) Sungai Putat dengan kurikulum khusus untuk para petani yang ingin belajar budidaya jernang.
Menurut Direktur Yayasan Hutanriau, Widya Astuti, lembaga yang mendampingi KTH Bukik Ijau, mereka menginisiasi SKTH lantaran banyak masyarakat yang datang ke Desa Air Buluh bertanya dan ingin tahu bagaimana cara budidaya dan pengolahan tanaman Jernang.
“Banyak masyarakat Kuansing dan luar Kabupaten Kuansing ingin belajar membudidayakan tanaman jernang. Karena itu kami berinisiatif membuka sekolah tani hutan pada Januari 2021 lalu,” kata Widya.
“Atas dasar itulah kemudian kami percaya diri mendirikan sekolah tani hutan. Walau kurikulum dan modul belajarnya mungkin masih belum sebagus institusi pendidikan lain, namun soal ilmu dan pengajarnya tidak perlu diragukan,” lanjutnya.
KTH Bukik Ijau memperoleh ilmu tentang jernang dari pengalaman dan riset partisipatif selama bertahun-tahun. Mereka sudah mulai mempelajari jernang sejak tahun 90-an dan melakukan riset partisipatif dengan dampingan Yayasan Hutanriau sejak 2017.
Menurut Kepala Sekolah KTH Sungai Putat, Ali Yasmi, dulu masyarakat sulit untuk mengembangbiakannya. Butuh waktu berbulan-bulan melakukan pembibitan. Tapi sekarang, 15 hari tunas jernang sudah bisa tumbuh.
Bahkan kini mereka sudah bisa menjual bibit ke petani di daerah lain seperti ke Kabupaten Inderagiri Hulu dan petani di Povinsi Jambi. Harga bibit jernang beruk Rp25.000 per batang dan jenis jantung Rp60.000 hingga Rp150.000 per batang.
“Sebelum membibitkan sendiri, masyarakat mencari bibit ke dalam hutan. Ketika bibit dicabut dan ditanam di tempat lain, bibit itu tidak mau tumbuh. Namun sekarang, kami sudah mampu melakukan pembibitan sendiri,” lanjut Ali.
Di sekolah tani hutan, petani akan diajarkan bagaimana menumbuhkan biji, melakukan pembibitan dari pencabutan anakan, cara menanam, memanen dan mengolah biji dan batang jernang.
Saat peresmian Sekolah Tani Hutan pada 26 Januari 2021 lalu, Kepala Dinas (Kadis) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau, Maamun Murod mengapresiasi apa yang sudah dilakukan masyarakat Desa Air Buluh dan Yayasan Hutanriau. “Nilai jual jernang lebih mahal dari harga jual buah sawit yang hanya Rp.2.200. Luar biasa keuntungannya,” kata Maamun Murod.
Menurut Murod, apa yang dilakukan KTH Bukik Ijau bisa diadopsi oleh KTH lainnya yang ada di Provinsi Riau. “Saya percaya dengan cara ini konservasi hutan bisa sejalan dengan pemberdayaan masyarakat,” lanjut Murod.
Salah seorang tenaga pendamping dari Yayasan Hutanriau, Melky pada peresmian tersebut mengatakan, keberhasilan masyarakat ini perlu mendapat dukungan pemerintah. Diantaranya mencari pasar. Selama ini masyarakat memasarkan jernang ke provinsi tetangga seperti ke Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Dijelaskan Ketua Kelompok Tani Hutan Bukik Ijau, Henrianto, saat ini pihaknya telah menanam jernang di lahan hutan lindung seluas 50 hektare. Jernang tumbuh subur di bawah naungan pohon-pohon yang ada di hutan.
“Kelompok kami beranggotakan 40 orang mengelola sekitar 200 hektare lahan. Dari luas tersebut, 50 ha kami tanami jernang, sisanya ditanam dengan tanaman lain seperti kopi, jengkol, kabau, kepecong dan lain sebagainya,” kata Henri.
Menurut Widya, dengan memanfaatkan hasil hutan bukan kayu Hutan Lindung Bukit Betabuh, hutan jadi terjaga dari ancaman perambahan. “Khusus di lokasi pemanfaatan milik KTH Bukik Ijau, hutan masih terjaga. Masyarakat menjaganya dari para perambah. Memang perambahan masih menjadi ancaman bagi kelestarian Hutan Lindung Bukit Betabuh saat ini,” tandas Widya. *