Dalam sebuah wawancara Bulan Agustus 2021 lalu, Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Heru Sutmantoro menyatakan komitmennya untuk menyelamatkan hutan tersisa TNTN. Nada suara agak meninggi saat itu, menujukan besarnya tekad untuk menjaga taman nasional dari berbagai ancaman. Ancaman itu adalah perambahan, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) dan illegal logging.
Saat ditetapkan menjadi kawasan hutan konservasi pada tahun 2014, TNTN memiliki luas 81.793 ha. Sekarang luas hutan menyusut menjadi 14.000 ha. Nama Tesso Nilo berasal dari nama dua sungai yang mengalir di kawasan tersebut, yaitu Sungai Tesso dan Sungai Nilo.
Sebelum menjadi taman nasional, ia merupakan hutan produksi milik tiga perusahaan, yakni PT Dwi Marta, Inhutani IV dan PT Nanjak Makmur. Penunjukan pertama adalah bekas konsesi PT Dwi Marta dan PT Inhutani IV pada tahun 2004 seluas 38.576 hektare. Izin HPH PT Nanjak Makmur berakhir tahun 2009, kemudian konsesi tersebut diubah fungsinya menjadi hutan konservasi Taman Nasional Tesso Nilo seluas ± 44.492 hektare. Dari proses penunjukan, menataan batas, pemetaan hingga penetapan, memakan waktu lebih kurang 10 tahun.
Tesso Nilo adalah salah satu blok hutan hujan dataran rendah yang masih tersisa di Pulau Sumatera. Kawasan ini terbentang di empat kabupaten yaitu Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, dan Kampar.
Pertimbangan pemerintah dan WWF menjadikannya kawasan konservasi karena masih banyaknya gajah sumatera (Elephas Maximus) di kawasan tersebut. Jumlahnya mencapai 150-200 ekor. Dengan dijadikannya Taman Nasional, gajah liar memiliki habitat untuk keberlangsungan hidupnya. Menteri Kehutanan kemudian menetapkan TNTN sebagai pusat konservasi gajah di Riau.
Selain itu, Tesso Nilo juga memiliki keanekaragaman hayati yang masih tinggi. Penelitian LIPI tahun 2003 menunjukkan ada 360 jenis flora yang tergolong dalam 165 marga dan 57 suku, 107 jenis burung, 23 jenis mamalia, 3 jenis primata, 50 jenis ikan, 15 jenis reptilia dan 18 jenis amfibia.
Keberadaan TNTN tidak bisa dilepaskan dari sejarah terbentuknya. Kalau di kawasan konservasi lain, umumnya ditunjuk dari kawasan hutan lindung atau hutan konservasi, TNTN dibentuk dari hutan produksi yang sudah dieksploitasi selama 30 tahun. Artinya selama 30 tahun HPH sudah mengambil kayunya.
“Dalam pengelolaan kita dihadapkan pada banyak permasalahan. Salah satunya sudah ada kerusakan melalui aktivitas kegiatan manusia sebelumnya. TNTN bukan hutan primer. Artinya, kita menerima hutan TNTN itu tidak clear. Ada perambah di situ,” terang Heru.
Organisasi pengelola TNTN mulai berdiri di tahun 2006 dengan nama Balai TNTN. Pada tahun 2007 struktur organisasinya seperti kepala balai, Polhut dan kelengkapan organisasi lainnya mulai terisi. Sejak saat itu pula pengelolaan TNTN dilakukan secara mandiri. Sebelumnya masih dibawah BBKSDA Riau.
“Dengan kekuatan organisasi kita di awal yang belum penuh dan ketersedian sarana dan prasarana yang belum memadai, pergerakan perambahan terus berlangsung hingga tahun 2016. Saat itu kita belum bisa optimal untuk menghambat pergerakan mereka,” lanjut Kepala BTNTN.
Awal mula perambahan terjadi di Dusun Toro dan Bukit Kesuma. Pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghentikannya, namun kenyataannya masih terus terjadi karena massif dan banyaknya orang.
Menurut Direktur Kaliptra Andalas, Romes Irawan Putra, Salah satu alasan mudahnya terjadi perambahan dalam kawasan TNTN karena kawasan tersebut bekas areal konsesi HPH sehingga jalan akses masuk kawasan sudah lebih terbuka. Topografi kawasan yang cenderung datar, juga memudahkan dalam pembukaan lahan.
“Akses masuk kawasan sudah sangat terbuka dengan adanya jalan koridor. Tidak hanya ancaman perambahan, TNTN juga menjadi sasaran illegal logging hingga tahun 2004,” kata Romes.
Melihat persoalan yang kompleks di Teso Nilo, Tahun 2016, Menteri Siti Nurbaya membentuk tim Revitalisasi Ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo (RETNTN) sebagai upaya pemulihan fungsi kawasan, penanganan kebakaran hutan dan lahan, serta pencegahan pembalakkan liar.
“Revitalisasi ini akan menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat termasuk meningkatkan kesejahteraannya,” jelas Romes.
Secara garis besar tujuannya, agar TNTN bisa lestari dan mengatasi perambahan yang sudah terjadi. “Salah satu solusinya adalah pemindahan masyarakat yang ada di dalam kawasan dan pemberdayaan masyarakat dengan bantuan-banuan ekonomi untuk masyarakat yang berada di luar kawasan TNTN,” kata Heru.
“Alhamdulillah sekarang sudah ada skema Perhutanan Sosial, seperti hutan desa dan lain sebagainya. Kalau di dalam kawasan konservasi namanya kemitraan konservasi,” tambah Heru.
Kawasan yang kondisinya sudah rusak, akan dipulihkan atau direhabilitasi sistem ekologinya. Caranya dengan mengajak masyarakat yang sudah ada di dalam kawasan untuk mengembalikan lagi wujud hutannya dan memberikan kontribusi ekonomi kepada mereka.
Contoh riilnya, menanam pohon-pohon hutan yang memberikan kontribusi ekonomi, seperti pohon jengkol, durian, petai dan tanaman pohon lainnya. Buah pohon tersebut bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber ekonomi mereka.
“Pola saya mengelola TNTN, pertama adalah menyelamatkan hutan yang masih tersisa. Kedua, pemulihan ekosistem melalui kemitraan konservasi. Dua hal ini harus bersinergi,” ucap Heru.
Terkait hutan alam, perlindungan dan pengamanan menjadi hal utama. Patroli oleh Polhut perlu ditingkatkan. “Kita juga bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk proses penegakan hukumnya. Ada Balai Gakkum LHK Riau, Kepolisian dan TNI,” katanya.
Yang sudah ada keterlanjuran sawit masyarakat di dalam kawasan, akan diarahkan ke program pemulihan ekosistem dengan kemitraan konservasi.
“Saya membujuk masyarakat untuk mengalihkan tanaman sawit mereka ke tanaman pohon yang bernilai ekonomi untuk mengembalikan nilai ekosistem atau ekologi tadi. Saya tidak anti sawit. Tapi untuk di kawasan konservasi saya anti sawit. Jangan sampai kawasan konservasi ditanami sawit. Tidak harus sawit menghasilkan ekonomi masyarakat,” tegas Heru.
Pohon bisa menciptakan iklim mikro, seperti keseimbangan hujan dan tata air. Kalau tanaman sawit, cenderung menyerap air dan merusak hidrologi.
Pohon juga penting sebagai rumah satwa liar. Setidaknya ada dua satwa liar yang membutuhkan pohon, yaitu jenis aves dan primata. Menciptakan rumah dan koridor mengarahkan ke hutan bagi satwa perlu juga dilakukan.
“14 ribu ha hutan tersisa harus diselamatkan karena itu menjadi rumah sakit dan apotik bagi satwa. Dia perlu obat, perlu makanan tertentu untuk mempertahankan hidup, termasuk satwa liar gajah dan harimau. Mereka pasti mengalami sakit, dan ketika sakit mereka akan mengambil kayunya, daunnya, atau kulit pohon sebagai obat,” terang Sarjana Kehutanan ini.
Gajah sumatera dan harimau sumatera memiliki wilayah jelajah luas. Gajah butuh range 500 km dan harimau butuh 150 km berjalan. Kalau tidak berjalan satwa tersebut akan sakit.
Membuat Plot
Untuk merubah perilaku masyarakat dari bertanam sawit ke komoditas hutan memerlukan sosialisasi, bujuk rayu dan iming-iming.
“Walau perlu jangka waktu lama, saya akan coba membuat plot. Karena budaya masyarakat kita budaya mencontoh, meniru, saya harus membat plot 1 ha lahan ditanami dengan tanaman hutan bernilai ekonomi tinggi seperti porang, durian dan lain-lain. Dari sini diharapkan masyarakat bisa beralih dan sadar bahwa sawit memiliki kerusakan lingkungan tinggi dan nilai ekonomi yang juga rendah dibandingkan dengan tanaman hutan tersebut,” jelas Heru.
Masyarakat di Desa Bagan Limau sudah mulai menanam petai, jengkol dan kemiri. Heru berharap, masyarakat Desa Toro juga bisa menanam tanaman pohon di sela-sela tanaman sawit mereka. Ketika selesai satu periode tanaman sawit 20-25 tahun, mereka menggantinya dengan tanaman hutan bernilai ekonomi.
“Kita tidak bisa frontal menghadapi mereka. Karena mereka juga butuh makan. Dampak sosial ekonomi masyarakat perlu menjadi pertimbangan,” terang Heru.
Terhadap bahaya Karhutla, pemanfaatan perangkat teknologi seperti satelit cukup efektif untuk melakukan pemantauan. “Kalau terpantau ada titik panas (hotspot), kita langsung turun ke lapangan. Upaya terbaik adalah dengan melakukan tindakan preventif atau pencegahan. Kita telah menyiapkan personil-personil di lapangan bekerjasama dengan Babinkamtibmas. Kita gencar sosialisasi Karhutla di masyarakat. Untuk tahun ini, Karhutla bisa kita tekan. Berdasarkan data kami, lebih kurang luas lahan terbakar tahun 2021 100 ha lebih,” tandas Kepala Balai TNTN.*