PERJALANAN dari Ibukota Provinsi Riau, Pekanbaru menuju destinasi wisata MSB memakan waktu tempuh sekitar 3 jam lebih dengan menggunakan kendaraan bermotor. Jalan lintas cukup bagus, meski ada beberapa titik yang berlubang.
Dari jalan utama menuju ke hutan mangrove, kita akan melewati jalanan semen yang lebarnya hanya cukup dilalui satu kendaraan roda empat. Hutan mangrove berada di ujung jalan semen tersebut. Di lokasi itu pulalah dulu terdapat sebuah sungai yang ditumbuhi sebatang pohon beringin atau masyarakat setempat menyebutnya dengan kayu ara. Sejarah terbentuknya Kampung Kayu Ara berasal dari nama pohon beringin tersebut.
Kampung Kayu Ara kini sudah dimekarkan menjadi Kampung Kayu Ara dan Kayu Ara Permai. Sungai dan kayu ara yang berada di situ pun sudah tidak ada lagi. Sebagai pengingat sejarah kampung, kawasan ekowisata edukasi mangrove di kampung pemekaran itu lantas diberi nama Ekowisata Mangrove Sungai Bersejarah.
Beberapa meter sebelum mencapai ujung jalan semen tadi, terdapat bangunan gapura kayu di kiri jalan. Gapura itu merupakan akses keluar masuk kawasan wisata edukasi MSB. Bangunan seperti rumah panggung berlantai papan dengan atap daun kelapa yang sudah mulai berlubang, juga menjadi tempat petugas penjaga kawasan MSB.

Di sebelah kiri pintu masuk, ada satu meja dan kursi papan cukup panjang. Di atasnya terdapat sebuah buku tebal ukuran folio untuk tamu atau pengunjung menulis nama dan asal mereka. Dari buku itulah pengelola mengetahui pengunjung MSB berasal dari mana saja. Tidak hanya dalam negeri, ada juga pengunjung dari luar negeri seperti Australia.
Sebelum masuk, pengunjung terlebih dahulu membeli tiket masuk MSB. Seperti tercantum di dinding gapura, harga tiket per orang hanya 3.000 rupiah ditambah biaya parkir 2.000 rupiah. Jadi kalau berkunjung ke sana, satu orang pengunjung hanya membutuhkan biaya 3.000 hingga 5.000 rupiah.
“Dari uang tiket inilah, kami melakukan perawatan MSB dan memperbaiki atau melengkapi fasilitas-fasilitas. Ada juga bantuan dari pihak lain,” kata Ela, penjaga pintuk masuk MSB.
Selama masa pandemi Covid-19, MSB sepi pengunjung. Sebelum Indonesia dinyatakan berstatus pandemi, pengunjung cukup lumayan. Pendapatan dari tiket bisa mencapai 2 juta rupiah di akhir pekan.
Lepas dari gapura utama, pengunjung akan melewati jalan papan menuju pintu masuk hutan MSB. Saat melintas di situ, ada pemandangan bibit-bibit mangrove yang berjajar rapi ditanam di dalam polibag kecil. Pembibitan tersebut dilakukan oleh pemuda-pemuda yang tergabung dalam Kelompok Konservasi Laskar Mandiri (KKLM) yang mengelola ekowisata MSB. Pengunjung yang ingin menanam mangrove di kawasan MSB dapat membelinya dan menuliskan nama di tanaman tersebut.

Saat berkunjung 22 Maret 2022 lalu, ekowisata MSB yang mulai beroperasi pada 2019 itu terlihat sangat sepi. Tidak tampak ada pengunjung. Pintu pagar kayu bercat merah dan kuning, siang itu masih tertutup. Perlu sedikit tenaga untuk mendorong agar terbuka lantaran bagian bawah pintu menempel ke papan yang disusun sebagai trek menuju zona inti. Panjang trek diperkirakan mencapai 350 meter yang ujungnya berakhir di bibir pantai Selat Lalang.
Gelap dan lembab, itu kesan pertama memasuki areal Hutan Mangrove Sungai Bersejarah. Pepohonan rimbun berukuran tinggi dengan dahan dan akar melintang ke sana-kemari, menunjukan usia mangrove di kawasan itu sudah cukup tua. Kayu-kayunya terihat kokoh. Batangnya ada yang menjorok ke tengah trek, sehingga pengunjung harus melangkahinya agar bisa terus berjalan.
Beberapa mangrove terlihat diberi tulisan menggunakan cat di atas sebilah papan. Tulisan itu menginformasikan jenis-jenis pohon mangrove yang ada di sana. Beberapa tempat juga diberi patok papan bertuliskan “Habitat Lokan”.
Tidak itu saja, banyak pesan-pesan dan quote menarik sebagai pengingat atau spot swafoto pengunjung. Pesan tersebut ditulis agar pengunjung tidak lupa menjaga kelestarian alam, menjaga kebersihan dan habitat hutan mangrove. Ada juga petunjuk fasilitas-fasilitas yang terdapat di kawasan, seperti mushala, toilet, aula dan pondok-pondok tempat pengunjung beristirahat.
Musahala dan toilet dibangun permanen berkeramik. Meskipun di hutan, kenyamanan pengunjung tetap menjadi perhatian pengelola selama berada di sana. Bila ingin membuat kegiatan, ada aula terbuka yang mampu menampung belasan orang.
Bila menyusuri trek lebih ke dalam, pengunjung bisa bertemu gerombolan kera berekor panjang berwarna abu-abu. Mereka muncul malu-malu dan akan segera berlari menjauh bila didekati. Selain kera, di kawasan yang masih asri tersebut juga ada lutung dan puluhan jenis burung.
Menikmati suasana hutan mangrove bisa dengan duduk bersantai di gazebo-gazebo kayu di pinggir trek. Bila hobi memancing, pengunjung juga bisa memancing. Ada beberapa kail yang disiapkan pengelola di gazebo. Bahkan bila ingin berbaring di sela-sela kayu pohon mangrove, pengunjung dapat membentangkan hammock.
“Suasananya di sini tenang dan masih asri. Pikiran kita menjadi rileks,” kata Adit, seorang pengunjung dari Kota Siak.
Menurutnya, bila ingin mencari ketenangan dan mengetahui apa itu mangrove, kawasan Ekowisata Mangrove Sungai Bersejarah bisa menjadi pilihan. Namun bila berwisata ke MSB, sebaiknya membawa bekal makanan dan minuman, karena di dalam kawasan tersebut tidak ada yang berjualan makanan maupun minuman.
“Hanya saja yang perlu diperhatikan, tetap menjaga kebersihan kawasan. Jangan membuang sampah sembarangan agar hutan mangrove tetap asri dan terjaga,” pesan Adit.
Jenis Mangrove
Jenis mangrove yang telah teridentifikasi di kawasan MSB ada sekitar 26 jenis. Paling banyak adalah jenis bakau (Ridzophora Apicilata), bakau kurap atau belukap (Ridzophora Mucronata), bakau merah (Ridzophora Mangle), bosing (Ridzophora Sty Losa) dan nyirih (Xylocarpus Granatum).
“Tapi bila diidentifikasi lebih dalam, diduga ada seratusan jenis mangrove di sini. Begitu ungkapan para akademisi sejumlah perguruan tinggi yang datang ke sini,” kata Koordinator Lapangan KKLM, Jumadi.
“Luas hutan mangrove ini lebih kurang 25 hektare (ha). Dulu jauh lebih luas lagi. Namun pada tahun 80-an, mangrove di sini pernah dieskploitasi. Masyarakat menebang mangrove untuk diambil kayunya. Namun pada tahun 2012, hal tersebut tidak lagi terjadi. Pak Syaifullah salah seorang yang menjadi motor penggerak pelestarian hutan mangrove dan pernah menjadi salah satu pelaku penebangan dahulunya. Pak Syaifullah mengajak masyarakat menanam dan menjaga hutan mangrove. Perjuangan beliau dilanjutkan oleh Kelompok Konservasi Laskar Mandiri (KKLM). Kawasan MSB kini dikelola oleh KKLM,” jelas Jumadi.
Luas hutan mangrove MSB sesungguhnya sudah menyusut sekitar 10 meter. Gelombang air laut kini mulai mengikis tebing pantai. Untuk memulihkannya dan menjaga keberadaan mangrove saat ini, KKLM dan masyarakat sudah menanam lebih dari 50 ribu tanaman mangrove, namun sayang tingkat keberhasilannya sangat kecil. Hantaman air laut menggerus tanaman yang ditanaman di bibir pantai tersebut.
Hutan mangrove dalam skala ekologis merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama karena daya dukungnya bagi stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Kestabilan ekosistem mangrove akan menimbulkan pengaruh yang sangat luas terhadap kelestarian wilayah pesisir. Mangrove sebagai ekosistem hutan, memiliki sifat dan ciri yang sangat khas, tumbuh pada pantai berlumpur dan muara sungai.

Sayangnya, ancaman terhadap keberadaan mangrove ini masih terus menghantui. Terpaan ombak laut lambat laun mengikis daratan dan menghancurkan tebing. Tidak jauh dari tebing pantai MSB, ada trek atau jembatan yang sudah hancur, padahal baru dibangun satu tahun lalu. Bahkan toilet di sekitar situ juga rusak tidak bisa dipakai lagi. Kesulitan yang dirasakan KKLM tidak hanya pada penanaman kembali pohon mangrove, tetapi juga mempertahankan pohon-pohon mangrove yang sudah ada.
“Kita membutuhkan pemecah ombak untuk menjaga Hutan Mangrove Sungai Bersejarah ini. Dan hal tersebut telah kami sampaikan kepada bapak bupati saat datang ke mari. Namun sampai saat ini belum ada tindakan apapun,” ungkap Jumadi.
Penulis: WD Utami
Foto & Video: WD Utami, Hermawan