BERBAGAI proses persiapan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara telah dilakukan. Mulai dari pelantikan Kepala Otorita IKN hingga penerbitan aturan pendukung perpindahan dari Jakarta menuju Kalimantan Timur. Sejumlah peraturan turunan yang dibuat untuk memastikan komitmen tersebut antara lain Perpres tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) IKN, Perpres tentang Pembagian Wilayah IKN dan Peraturan Kepala Otorita IKN tentang Rencana Detail Tata Ruang IKN.
Corak penyusunan, pembahasan hingga penetapan Undang-undang IKN sama persis dengan Undang-undang Cipta Kerja. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya dalam 17 hari kerja melakukan pembahasan dan menetapkan RUU menjadi undang-undang. Selain sangat cepat, partisipasi rakyat Indonesia juga ditutup rapat-rapat.
“Pertimbangan-pertimbangan mengenai dampak sosial-ekologis yang harus ditanggung warga Kalimantan Timur, khususnya warga yang hidup di Kutai Kartenegara dan Penajam Paser Utara serta warga di wilayah lain yang akan menerima dampak domino dari pembangunan Ibu Kota Negara ini benar-benar diabaikan,” kata Bidang Pengkampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian dalam pernyataan tertulis yang diterima, Jumat (1/4/2022).
Luas wilayah proyek pembangunan IKN mencapai 256.142 hektare (ha), berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutar Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur. Kawasan inti ada di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 ha. Kawasan tersebut masih memiliki status Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) yang berarti penduduk di kawasan itu bisa sewaktu-waktu direlokasi karena wilayah mereka belum beralih menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), sehingga belum bersertifikasi hak miliki.
Walhi menilai mega proyek pembangunan IKN akan menggusur puluhan ribu masyarakat adat dan masyarakat lokal. Mega proyek tersebut juga akan menghancurkan hutan-hutan tersisa Kalimantan, merampas lebih dari 68 ribu hektar wilayah perairan pesisir dan belasan Daerah Aliran Sungai (DAS), serta memperbesar eksploitasi material di wilayah lainnya untuk menyokong pembangunan IKN.
Dipilihnya lokasi IKN yang secara eksisting dikuasai oleh korporasi melalui izin-izin kehutanan, pertambangan dan perkebunan ditengarai dapat menjadi pintu “pemutihan” pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi.
“Misalnya pengabaian tanggung jawab korporasi untuk mereklamasi lubang tambang milik mereka. Saat ini tercatat 2.415 lubang tambang dengan total luasan 29 ribu hektar masih menganga di wilayah IKN,” ungkap Uli.
Alasan pengurus negara memindahkan IKN karena kualitas ekologis Jakarta menurun dinilai sebuah kekeliruan. Sebab, yang dibutuhkan Jakarta adalah pemulihan lingkungan serta penghentian pembangunan skala besar yang telah melampaui daya dukung serta daya tampung lingkungan Jakarta. Pindah atau tidaknya IKN, Jakarta butuh pemulihan. Alasan lain adalah ketimpangan pembangunan dan ekonomi.
“Paradigma pembangunan fisik skala besar juga sebuah kekeliruan. Pembangunan infrastruktur yang saat ini disebut sebagai Proyek Strategis Nasional dan Kawasan Strategis Nasional sesungguhnya tidak berkontribusi langsung pada kesejahteraan rakyat, khususnya rakyat biasa di kampung-kampung. Faktanya negara selalu gagal mengenali kebutuhan rakyatnya. Namun itu tidak membuat pengurus negara rendah hati untuk menyatakan kegagalan dan bertanya kepada rakyat apa sesungguhnya yang menjadi kebutuhan mereka,” kata Uli.
Walhi sebagai organisasi gerakan lingkungan hidup terbesar di Indonesia dengan jumlah anggota mencapai 504 organisasi dan 203 anggota individu yang tersebar di 28 propinsi menyatakan menolak pemindahan Ibu Kota Negara Indonesia. Penolakan tersebut disampaikan dalam lembar Pernyataan Sikap Walhi terkait pemindahan Ibu Kota Negara yang diterima bentalanews.id, Jumat (1/4/2022).
Walhi mendesak pengurus negara untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup di Jakarta, Kalimantan Timur dan di seluruh wilayah Indonesia. Organisasi ini juga meminta pemerintah memulihkan hak-hak rakyat dengan mengakui dan melindungi Wilayah Kelola Rakyat sebagaimana yang telah dimandatkan oleh konstitusi Republik Indonesia.
Dikutip dari Kompas.com, di sekitar wilayah IKN Nusantara terdapat lebih kurang 21 masyarakat adat. Menurut Emil Kleden, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), pemerintah perlu menerapkan Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam Pembangunan IKN.
“Adalah hak masyarakat untuk mendapatkan informasi (informed) sebelum (prior) sebuah program atau proyek pembangunan dilaksanakan di wilayah mereka. Berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas (free) bisa menyatakan setuju (consent) atau menolak,” kata Emil Kleden melalui pernyataan tertulis yang diterima, Jumat (1/4/2022).
Prinsip dasar itu penting untuk dijadikan panduan utama bagi pemerintah dalam menjalankan pembangunan IKN. Perlu diingat, sumber konflik pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah. Hak tersebut perlu dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan ke depannya.
“Interaksi penyelenggara IKN dengan masyarakat setempat mengenai hak atas tanah perlu diperjelas. Kalau tidak dibereskan, maka konflik akan terus terjadi dan merusak relasi kedua pihak dalam jangka panjang. Jangan sampai langkah represif menjadi solusi yang diambil untuk menyelesaikan konflik. Selain membutuhkan biaya besar, dinamika relasi yang kurang kondusif ini akan menimbulkan konflik susulan di masa depan,” tambah Emil.
Penerapan dari prinsip FPIC ini bisa dilakukan dengan cara memastikan bahwa persetujuan Masyarakat Adat ini disepakati tanpa merugikan pihak tertentu dari komunitas tersebut (seperti perempuan dan anak muda), tidak didasari informasi yang menyesatkan, serta penafsiran sepihak akan hukum yang berlaku.
“Keterbukaan informasi bagi Masyarakat Adat sangat vital. Komitmen pemerintah untuk memastikan hak tanah seseorang secara benar akan sangat diapresiasi. Jika pemerintah merasa memasang patok adalah solusi terbaik dan tercepat untuk meredam konflik, maka hal ini justru bisa menjadi masalah serius di kemudian hari. Jangan sampai praktik seperti itu dipertahankan dalam pengadaan tanah untuk IKN,” kata Emil.
Langkah lain yang bisa dilakukan pemerintah secara lebih seksama adalah melakukan pemetaan tata ruang lokasi pembangunan IKN terhadap hutan adat. Misalnya, apakah ada persinggungan lahan IKN dengan wilayah hutan adat, bagaimana dampak pembangunan tersebut terhadap hak Masyarakat Adat atas tanah mereka, dan sebagainya.
Rikardo Simarmata, Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, langkah awal pemetaan adalah dengan mengumpulkan data seputar kepemilikan lahan atau tanah yang digunakan untuk IKN. Kepemilikan bisa jadi oleh individu dan kelompok.
“Di sekitar lokasi IKN sudah banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Mereka di sana sudah bergenerasi. Orang-orang dari Jawa didatangkan untuk industri migas dan untuk proyek transmigrasi. Orang-orang dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah datang untuk alasan memperbaiki hidup. Jadi, klaim adanya tanah adat dengan penguasaan komunal di sekitar lokasi IKN memang perlu dilakukan dengan hati-hati,” kata Rikardo.
“Terlepas dari itu, untuk keperluan perolehan tanah untuk IKN, pemerintah perlu serius melakukan pendataan kepemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah. Hal itu perlu karena bagi tanah-tanah yang tidak bersertifikat dan berada di Areal Penggunaan Lain, Kantor Pertanahan setempat tidak memegang datanya. Harus mendapatkannya di kantor desa atau kecamatan,” tambah Rikardo.
Ekonomi Hijau
Pemerintah mengklaim pembangunan IKN akan mengedepankan prinsip ekonomi hijau untuk kelestarian lingkungan dan ekonomi berkelanjutan secara nyata. Namun potensi konflik yang terjadi antara pembangunan dan kelestarian hutan seringkali dipicu kepentingan ekonomi. Penyelenggaraan ekonomi hijau diharapkan mampu menjembatani potensi konflik kepentingan agar masyarakat sekitar merasakan manfaat ekonomi sekaligus menerima manfaat dari keseimbangan ekologi yang terjaga dengan baik.
Menurut Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Riche Rahma Dewita arah pembangunan ekonomi hijau bisa difokuskan pada praktik-praktik jasa lingkungan. Misalnya, pemanfaatan air sebagai pembangkit tenaga listrik, penerimaan pendapatan dari aksi pelestarian hutan lindung yang bisa berkontribusi terhadap penurunan efek gas rumah kaca negara, ataupun penyelenggaraan agroforestry yang memanfaatkan hasil bumi dari hutan.
“Semua praktik tersebut sangat mungkin dilakukan oleh masyarakat dan pada akhirnya berkontribusi langsung pada kehidupan mereka,” ungkap Riche.
Namun, Riche juga menegaskan bahwa apapun kebijakan pemerintah terkait ekonomi hijau, sangat perlu mempertimbangkan kapasitas masyarakat dimana kebijakan itu diterapkan. Misalnya, apakah kebijakan ekonomi hijau ini sesuai dengan arah mata pencaharian masyarakat sekitar, seberapa jauh pemahaman masyarakat sekitar tentang pengelolaan lahan yang mendukung pelestarian lingkungan, teknologi apa yang telah digunakan untuk mendukung penyelenggaraan ekonomi hijau, dan sebagainya.
“Berdasarkan seluruh penilaian ini, pemerintah bisa melakukan perencanaan pembangunan untuk memperbaiki apa yang sudah berjalan, sehingga pembangunan ekonomi hijau IKN lebih terarah dan bermanfaat bagi seluruh pihak,” tutup Riche.