Secangkir air hangat plus madu dan irisan jeruk lemon disuguhkan di atas meja tempat kami berbincang-bincang pagi itu di pertanian hidroponik milik pasangan Rian dan Widya. Widya sang nyonya rumah lalu memetik daun mint yang berada tidak jauh dari kami duduk dan memasukannya ke dalam cangkir tadi sambil mempersilahkan saya minum.
Tampilannya menarik. Tanpa menunggu lama, saya mengambil cangkir itu untuk segera membuktikan apakah rasanya sesegar penampilannya. Pada seruputan pertama saya mencium aroma buah lemon dan daun mint yang menyegarkan. Bahan-bahan alami tersebut berpadu dan menciptakan rasa nikmat di minuman. Tak kuasa untuk tidak menghabiskan minuman sehat itu. Dalam beberapa detik, isi cangkirpun berpindah ke dalam perut saya.
“Daun mint ini tidak menggunakan pestisida, jadi aman dikomsumsi langsung,” kata Widya sedikit menghalau keraguan saya.
Daun mint jenis tanaman yang paling banyak di kebun hidroponik milik Rian dan Widya. Karena permintaan daun mint ke kebunnya cukup tinggi. Ada sekitar 7 jenis sayuran di green house yang berada di depan dan samping hunian itu, Selada, bayam brazil, kale, kangkung sudah cukup umur untuk dipanen. Sebagian sayur lainnya masih berukuran kecil.
Pasangan suami istri ini sudah 5 tahun mengelola bisnis pertanian hidroponik di halaman rumah. Awalnya hanya untuk hobi dan kebutuhan sendiri, kemudian berkembangkan menjadi bisnis keluarga. Bahkan Rian sengaja ke Yogyakarta untuk belajar khusus bertani hidroponik.
Sistem hidroponik adalah budidaya tanaman dengan memanfaatkan air sebagai media tumbuh dengan menekankan pada pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi tanaman.
Menurut Rian, semua nutrisi tanaman sayur di kebun hidroponik miliknya, ia racik sendiri. Tidak menggunakan pestisida sehingga cukup sehat dan higienis. Sayur-sayur dapat dikonsumsi secara mentah sebagai lalap atau dibuat minuman jus.
Sayur di kebun yang berada di sekeliling rumahnya itu diberi pengaman jaring untuk menghambat masuknya serangga. Di dalam kebun juga dipasang perangkap serangga yang digantungkan di atas tanaman. Bila masih ada hama pengganggu yang hinggap di daun, dibersihkan secara manual satu per satu.
“Kendala utama pertanian hidroponik sejauh ini terletak pada hama. Kami membersihkan hama secara manual. Biasanya hama sering muncul saat kondisi cuaca berubah-ubah secara cepat,” kata Rian (41 tahun).
Ungkapan serupa datang dari Nina yang baru memulai pertanian hidroponik sekitar 10 bulan lalu. Dia pernah mencoba meracik sendiri cairan pengusir hama dari bawang putih, namaun hasilnya daun sayuran malah bebercak. Kualitas sayur menjadi turun lantaran bercak putih tersebut.
“Sejauh ini cara mengatasi hama yang terbaik masih secara manual. Kita membersihkan kutu atau hama yang menempel di daun satu per satu dengan tangan,” terang mantan aktivis di NGO lingkungan ini.
Menurut Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau (UIR), M Nur, hama bisa diminimalisir bila sistem hidroponik dilakukan di rooftop. “Serangga, kupu-kupu, belalang dan hewan sejenisnya akan sulit menjangkau tempat yang tinggi,” terang M Nur.
Untuk medianya, air terbaik yang digunakan sistem ini adalah air hujan. Menurut M Nur, kandungan air hujan mendekati 0 ppm. Suhu air yang dingin juga membuat akar tanaman mudah menyerap unsur hara atau nutrisi.
“Suhu air yang baik di bawah 25 derajat celcius. Suhu air akan terjaga bila tempat air diletakan sejajar dengan tanah. Kalau di rumah menggunakan AC, air AC bisa disalurkan ke penampungan air tanaman itu,” katanya.
Pompa air juga tidak perlu hidup secara nonstop selama 24 jam. Tanaman hanya butuh nutrisi di siang hari, saat malam pompa bisa dimatikan karena tidak ada aktivitas tanaman di malam hari. Dengan demikian bisa menghemat pemakaian listrik atau energi.
Sayur Organik
Tanaman hidroponik bisa tumbuh dan berkembang dengan baik lantaran nutrisi yang diberikan pada media tanamnya. Nutrisinya bisa buatan pabrik atau diracik dari bahan-bahan alami. Buatan pabrik sudah pasti sifatnya anorganik. Karena unsur haranya tiruan.
“Karena itulah, sayuran hidroponik belum sepenuhnya bisa dikatakan sayuran organik. Tetapi kalau unsur haranya dibuat dari bahan alami, sayur tersebut bisa disebut sayur organik. Sayur hidroponik adalah sayuran higienis karena penanaman dan pemanenannya bersih serta bebas dari pestisida,” kata M Nur.
Kalau mau yang alami dan organik, lajut M Nur, menggunakan sistem aquaponik. Aquaponik salah satu sistem pertanian yang memadukan budidaya perikanaan dan budidaya tanaman dengan media air. Sistem ini banyak digunakan masyarakat perkotaan untuk menghemat lahan dengan mendapatkan dua manfaat sekaligus yaitu ikan dan sayuran segar.
Nutrisi tanaman diperoleh dari kotoran ikan yang larut di dalam air kolam. Air tersebut dialirkan melalui pompa ke paralon tempat sayuran diletakan. Kotoran ikan adalah amoniak yang berupa nitrit. Nitrit tersebut diubah menjadi nitrat untuk dimanfaatkan tanaman. Dengan menggunakan saringan dan bakteri yang ada di saringan tersebut, nitrit bisa diubah menjadi nitrat secara alami. Nitrat itu sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.
Nutrisi alam juga bisa dibuat dari campuran beberapa bahan alami. Seperti yang dilakukan Furqon, petani hidroponik yang sudah memulai sejak Tahun 2010 lalu. Ia mengolah cairan rumen dan urin sapi dengan susu kambing, tepung sagu serta m4. Proses fermentasi bahan-bahan tersebut menjadi pupuk cair yang baik untuk tanaman.
Rumen adalah salah satu bagian lambung ternak atau hewan memamah biak seperti sapi, kerbau, kambing dan domba yang terdiri dari bahan pakan yang biasanya dimakan ternak itu. Cairan rumen dari limbah rumah potong hewan dapat dimanfaatkan sebagai biostarter untuk mempercepat proses fermentasi.
“Saya mengambil rumen dan urin hewan ternak dari Rumah Potong Hewan (RPH) Kota Pekanbaru. Dulu masih gratis, namun sekarang sudah memiliki nilai ekonomi,” kata Furqon yang juga PNS di Dinas KLHK Provinsi Riau.
Nutrisi sangat penting untuk perkembangan tanaman hidroponik. Bila unsur hara tanaman kurang, daun akan kuning, pertumbuhan terhambat dan rasanya juga akan pahit.
“Kalau tanaman terpenuhi kebutuhan nutrisinya maka akan terasa lebih enak. Kalau kurang, maka rasanya akan pahit,” terang Dosen UIR, M Nur.
Faktor pemanenan juga bisa mempengaruhi rasa sayuran. Sebaiknya memanen sayuran sebelum matahari terbit. Karena bila matahari sudah terbit, tumbuhan akan mengalami fotosintesis. Proses fotosintesis tersebut menghasilkan karbohidrat.
“Tumpukan karbohidrat yang tinggi itu salah satu yang menjadikan sayur pahit. Makanya kalau ada selada yang rasanya agak pahit, mungkin itu kekurangan nutrisi atau kesalahan saat pemanenan,” kata Sekretaris Jurusan Agroteknologi ini.
Dan kalau ingin selada tahan lama, jangan dibuang akarnya ketika dipanen. Selain itu, kemasan dan cara penyimpanaan juga akan mempengaruhi kesegaran sayuran.
“Secara tampilan, sayur yang ditanam dengan sistem hidroponik akan lebih hijau, mahkota daun berkembang dengan sempurna dan tidak cacat. Ketika tangkai dipatahkan, akan lebih crunchy. Rasanya juga lebih enak dan segar,” tambah Furqon.
Peminat Sayuran Hidroponik
Tingkat kesadaran masyarakat Kota Pekanbaru terhadap sayuran hidroponik sudah mulai membaik. Petaninya juga sudah mulai banyak. Hal tersebut terbukti dari munculnya komunitas-komunitas hidroponik dan mulai banyaknya permintaan sayur ke para petani hidroponik.
“Kebun ini, selain memenuhi permintaan suplaier, kami memasok langsung ke supermarket dan kafe yang ada di Pekanbaru. Dan kami juga melayani pembeli yang datang ke kebun untuk komsumsi sendiri,” kata Rian mantan karyawab bank.
“Awal memulai usaha, saya ragu apakah saya dapat pasarnya atau tidak. Tetapi ternyata, produk saya bisa diterima di Pasar Buah. Bulan Ramadhan kemarin menjadi momentum perkembangan bisnis tanaman hidroponik saya. Permintaan sayur saat itu tinggi, sehingga saya sebagai pemain baru cepat mendapat pasar,” kata Nina yang memiliki kebun di belakang rumah.
Tidak hanya memenuhi kebutuhan supermarket, Nina juga memiliki pelanggan dari kalangan survivor kanker, tetangga dan orang-orang yang peduli dengan gaya hidup sehat. Mereka mengkonsumsi sayur tanpa proses pengolahan.
Furqon sebagai pemain lama, bahkan sudah memasok sayuran ke hotel-hotel yang ada di Kota Bertuah. Untuk mengatasi kelebihan produksi selama masa pandemic kemarin, ia menyiasati dengan cara mengolah sayur menjadi produk mie yang ia jual ke kafé-kafe.
“Di Tahun 2010, hidroponik belum sepopuler sekarang. Pasarnya juga masih terbatas. Saya perlu kerja keras membangun pasar sayuran hidroponik hingga bisa diterima di banyak tempat seperti saat ini,” jelas Furqon.
Selama pandemic Covid-19 lalu, permintaan yang datang ke pasangan Rian dan Widya adalah pembuatan instalasi tanaman hidroponik. Minat masyarakat berkebun saat itu cukup tinggi. Kini Rian tidak hanya menjual sayuran hidroponik, tetapi juga menjual benih, nutrisi dan menerima jasa pembuatan kebun hidroponik.
Dari sekitar 5000 lubang dan luas lahan 20×10 meter milik pasangan Rian dan Widya, omset dari menjual sayur dalam sebulan mencapai 4 hingga 5 juta rupiah. Bila digabung dengan penjualan benih, nutrisi dan lainnya, omset bisa mencapai 7 sampai 8 juta per bulan.
“Harga sayur hidroponik ini relatif stabil. Pasarnya juga cukup baik di Pekanbaru. Dan kini sudah banyak komunitas pertanian hidroponik,” kata Rian yang sudah memiliki satu tenaga kerja di kebunnya.
Sementara Furqon yang memiliki 1.700 lubang mengaku sudah bisa balik modal dalam kurun waktu 2 tahun. Ia telah menggelontorkan 100 juta rupiah sebagai modal awal. “Modal saya 100 juta rupiah bisa kembali dalam tempo 2 tahun,” terang Furqon.
Ramah Iklim
Perubahan iklim saat ini telah menjadi isu yang sangat penting yang harus diselesaikan bersama-sama. Kegiatan manusia yang berlebihan seperti penggunaan bahan bakar fosil dan perubahan tata guna lahan serta bermacam pencemaran, menyebabkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Emisi GRK akan meningkatkan suhu atmosfer yang kemudian meningkatkan penguapan air tanah hingga mengakibatkan kekeringan, kebakaran hutan dan gelombang panas dan banjir.
“Produksi dan konsumsi pangan di tingkat global menyumbang 30 persen dari semua emisi GRK pemicu perubahan Iklim. Angka ini termasuk pembuatan pupuk, pertanian, pengolahan, transportasi, ritel, manajemen makan rumah tangga dan pembuangan limbah,” kata Amanda Katili Niode, Manager Climate Reality Indonesia dalam paparannya di Kelas Belajar Sistem Pangan Lestari untuk Adaptasi Perubahan Iklim secara daring, 15 Desember 2021.
Beberapa faktor yang berdampak terhadap iklim antara lain energi yang digunakan untuk produksi makanan, motode organik atau dengan bahan kimia dan seberapa jauh makanan tersebut diangkut sampai ke meja makan.
“Hidangan yang lebih dekat ke tempat disantap akan mengeluarkan emisi lebih sedikit karena terkait transportasi, lebih segar dan membantu produsen lokal. Dengan berkurangnya jarak tempuh makanan, berkurang pula kebutuhan untuk mengolahnya dan untuk pendinginan guna mengurangi pembusukan,” jelas Amanda.
Gaya hidup rendah karbon dapat mengurangi jejak karbon, Karena emisi GRK akan dilepaskan oleh pribadi atau kelompok dalam kegiatannya. Satuan jejak karbon adalah ton-setara-CO2 (tCO2e) atau kg-setara-CO2 (kgCO2e). Makanan hewani memiliki jejak karbon lebih tinggi daripada nabati. Produksi satu kilogram daging sapi mengeluarkan 60kg gas rumah kaca (setara CO2).
Tidak menggunakan lahan yang luas, pestisida dan hemat air, menjadikan sistem hidroponik tergolong ramah iklim. Pertumbuhan tanamannya juga cepat, 28 hari sudah bisa panen.
Hampir tidak ada limbah pada sistem pertanian ini. Siklus air terjaga dan tidak ada yang terbuang. Apalagi dengan rantai pasarnya yang pendek, mempersingkat perjalannya hingga sampai ke meja makan.
“Memanfaatkan luas lahan terbatas dan jauh dari pestisida akan mengurangi emisi yang berpengaruh terhadap perubahan iklim. Apalagi bila energi untuk mengoperasikan pompa air diambil dari panel surya, ini semakin ramah iklim,” jelas M Nur.
Master Agronomi ini telah mempraktekan berkebun dengan sistem aquaponik di rumahnya. Jamak masyarakat membuat pagar rumah dari kayu atau besi, namun Dosen UIR ini justru membuat pagar dari paralon agar bisa dimanfaatkan untuk bertanam aquaponik.
Kolam ikan nila di depan rumahnya, selain penghias taman dan menyegarkan pandangan, juga berfungsi sebagai sumber nutrisi sayuran yang ditanamanya di pagar rumah. Untuk mengoperasikan pompa air, ia menggunakan panel surya berkapasitas 50 WP.
“Dengan panel surya, kita tidak perlu takut listrik mati. Ini juga menghemat penggunaan listrik di rumah,” ungkapnya.
Untuk menghindari terkontaminasi dengan unsur timbal yang ada di paralon, petani hidroponik dan aquaponik bisa menggunakan paralon yang food grade.
Hasil tanaman dengan sistem hidroponik dan aquaponik dinilai cukup higienis. Bisa dikonsumsi mentah karena bebas pestisida.
“Jadi tidak hanya menguntungkan bagi alam, sistem ini juga menguntungkan bagi kesehatan kita. Secara ekonomi, sayuran hidroponik dan organik juga lebih ekslusif. Di pasaran harga jualnya lebih tinggi dibanding sayur yang ditanam secara konvensional,” tutup M Nur.