Air beriak tanda tak dalam. Peribahasa ini cukup memberi pemahaman bahwa lokasi tempat saya berada di Sungai Subayang saat itu cukup dalam. Di situlah letak Lubuk Larangan milik masyarakat adat Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Airnya tenang, berwarna agak kehijauan dengan hutan yang masih alami di pinggirnya, sangat menyakinkan bahwa pemilihan lubuk itu sebagai lubuk larangan sangat tepat.
Jarak Lubuk Larangan tersebut sekitar 10 menit perjalanan dari Desa Tanjung Belit menggunakan perahu bermesin robin yang oleh masyarakat setempat disebut Piyau. Lubuk itu Lubuk Larangan kedua milik Masyarakat Adat Kenegerian Tanjung Belit. Luasnya sekitar 300 sampai dengan 500 meter persegi.
Lubuk Larangan pertama, lokasinya cukup dekat dengan desa. Perairannya lebih dangkal dan arusnya agak deras dibandingkan lubuk larangan kedua. Karakter tempat yang berbeda, sudah tentu ikan yang dihasilkan juga akan berbeda. Biasanya ukuran ikan akan lebih kecil.
Sesaat akan bertolak ke sana, hujan baru turun meskipun tidak terlalu deras. Karenanya air Subayang menjadi agak keruh. Menurut penjelasan warga desa dan staf WWF yang mendampingi saat turun ke sana, air Sungai Subayang cukup jernih dalam kondisi normal.
Tetua Adat Desa Tanjung Belit, Datuk Majo Kayo atau biasa disapa Mak Birin (59 tahun) mengatakan, masyarakat Kampar Kiri sejak dahulu sudah memanfaatkan air Sungai Subayang untuk keperluan minum, mandi dan aktivitas domestik lainnya. Karena ikannya masih banyak, kotoran manusia tidak sempat mencemari air sungai karena dimakan oleh ikan.
“Sungai Subayang masih cukup terjaga. Kalaupun keruh saat hujan datang, satu jam kemudian air akan jernih kembali. Ikan-ikan akan terlihat berenang di dalam sungai. Kekeruhan ini karena ada lumpur yang masuk ke sungai dibawa oleh air hujan,” jelas Mak Birin.
Masyarakat sepanjang Sungai Subayang memiliki kearifan lokal dalam menjaga potensi sungai dan lingkungannya. Ada aturan adat yang menjaga sehingga sungai mereka bisa lestari.
Lubuk Larangan dimaknai sebagai suatu wilayah sungai yang tidak seorangpun boleh mengambil ikan sebelum diizinkan Tetua Adat. Ikan hanya boleh diambil pada saat panen bersama dalam suatu acara adat Mancokau Ikan Lubuk Larangan.
Lubuk larangan salah satu cara masyarakat adat menjaga keanekaragaman hayati di Sungai Kampar Kiri tersebut. Atas kesepakatan bersama masyarakat adat, lokasi yang sudah ditentukan dijaga dari aktivitas penangkapan ikan dan perusakan lingkungan. Sebagai penandanya, dipasang tali pembatas wilayah Lubuk Larangan.
Awalnya Ninik Mamak memberlakukan sanksi untuk menjaga Lubuk Larangan. Bagi siapa saja anak kemenakan yang melanggar aturan adat, menangkap ikan di lubuk tersebut, diberi sanksi membayar satu kodi seng ke lembaga adat. Namun aturan tersebut ternyata tidak efektif, masih banyak yang melanggarnya.
“Lalu Ninik Mamak bersama masyarakat membuat musyawarah kembali dan membaca yasin untuk mejaga Lubuk Larangan. Cara ini rupanya cukup efektif. Tidak ada yang berani menangkap ikan atau melanggar aturan yang sudah disepakati. Masyarakat percaya bila mengambil ikan sebelum waktu yang ditentukan, perut akan buncit,” ungkap Mak Birin.
Alhasil semakin tahun semakin banyak tangkapan ikan di Lubuk Larangan. Masyarakat membuka atau panen Lubuk Larangan satu kali setahun saat air sungai surut. Biasanya sebelum puasa atau sebelum lebaran. Bisa juga di akhir tahun, tergantung kondisi air sungai.
“Saat ini Lubuk Larangan kita sudah dua tahun lebih belum dibuka lantaran pandemi Covid-19 dan air sungai tinggi,” jelas Datuk dari Suku Domo yang bernama asli Amrin ini.
Upacara membuka Lubuk Larangan disebut Mancokau yang artinya menangkap ikan. Saat panen, hasilnya bisa mencapai Rp75 juta. Karena selain untuk dikonsumsi sendiri oleh masyarakat, ikan hasil tangkapan dilelang kepada pengunjung yang datang saat panen Lubuk Larangan. Dananya digunakan untuk membangunan desa.
“Saat membuat Lubuk Larangan, Ninik Mamak sudah merencakan hasil panen ikannya kelak untuk pembangunan desa, seperti membangun masjid dan lain sebagainya. Termasuk untuk menyantuni anak yatm,” jelas Mak Birin.
Mancokau Ikan
Waktu pemanenan atau menangkap ikan di Lubuk Larangan ditetapkan atas kesepakatan Musyawarah Adat. Panitia pun dibentuk untuk upacara Mencokau Ikan Lubuk Larangan tersebut.
Pemuda dan masyarakat bersama-sama membuat pagar di sekitar lubuk larangan dan memasangan jaring untuk menghambat ikan- ikan keluar dari Lubuk Larangan saat proses panen dilakukan.
Mancokau dimulai dengan memainkan musik tradisional celempong pada malam dan siang hari sesaat upacara akan dimulai. Dengan memakai pakaian Adat Teluk Belanga dan celana lebar yang serba hitam, Ninik Mamak turun ke sungai (Lubuk Larangan) untuk melakukan lempar jala pertama.
Pertama-tama yang menjala ikan adalah Tetua Adat, Datuk Godang, Datuk Majo dan tokoh adat lainnya. Setelah mendapatkan ikan pertama dengan ukuran cukup besar, Datuk Godang kemudian memotong menjadi dua, satu potong dikembalikan ke sungai untuk leluhur dan sebagian lagi dilemparkan ke darat untuk Sang Raja Hutan. Setelah proses itu, masyarakat yang sebelumnya telah mendaftar ikut mencokau ikan, boleh menangkap ikan sesuai arahan dari panitia setempat.
“Tangkapan pertama dilakukan oleh Datuk Godang, penguasa sungai. Hasil tangkapan tersebut dibagi menjadi dua. Yang pertama dikembalikan ke sungai dan yang ke dua dilemparkan ke daratan atau hutan sebgai jatah Raja Hutan,” kata Anto, masyarakat adat Desa Tanjung Belit.
Semua hasil tangkapan ikan yang beratnya dibawah 1 kg akan dibagi-bagikan secara merata kepada masyarakat yang ikut menangkap ikan. Sedangkan untuk ikan yang beratnya di atas 1 kg akan dilelang dan uang hasil pelelangan akan menjadi kas desa.
Menangkap ikan tidak boleh memakai alat yang bisa memusnahkan ikan, seperti racun. Alat yang diperkenankan adalah jaring, jala dan tombak.
“Pengunjung yang datang pada upacara mancokau tidak hanya dari Pekanbaru dan kota yang ada di Provinsi Riau, tetapi juga dari ibukota Jakarta dan kota-kota lainnya di Indonesia,” kata Datuk Majo Kayo.
“Ikan paling besar yang pernah kita tangkap adalah ikan tapa, beratnya mencapai 5 kg dan berhasil dilelang seharga Rp 4 juta. Yang membeli pejabat-pejabat yang hadir saat itu,” tambah Tetua Adat Desa Tanjung Belit itu
Setelah selesai proses pemanenan dan membagi ikan dengan andel, masyarakat secara bergotong royong memasak ikan dan kemudian makan bersama.
“Biasanya ikan ditumis atau dibuat sambal kacau, masakan khas masyarakat di sana,” kata Doni Susanto, staf WWF Indonesia.
Tradisi Mancokau Ikan Lubuk Larangan memberikan rasa persaudaraan yang kuat, meningkatkan gotong royong, menciptakan rasa kekompakan masyarakat, menumbuhkan rasa peduli terhadap kampung dan berperan dalam pelestarian ikan, sungai serta hutan di sekelilingnya
Setelah prosesi mancokau di siang hari, pada malam hari Lubuk Larangan ditutup ditutup kembali. “Lubuk Larangan cuma dibuka 1 hari,” terang Datuk Majo.
Menurut Ratna Sari, Fresh Water Program WWF Indonesia, kearifan lokal seperti ini tidak hanya ada di Provinsi Riau. Beberapa masyarakat adat di Sumatera Barat juga memiliki pola-pola pengelolaan sumberdaya alam berbasis kearifan lokal.
“Sejak masih bayi anak-anak sudah diperkenalkan dengan sungai dengan prosesi adat turun mandi. Setelah melahirkan ari-ari mereka hanyutkan ke sungai. Begitu pentingnya arti sungai bagi masyarakat adat, sehingga mereka sangat menjaganya dengan aturan-aturan adat,” terang Ratna.
Konservasi Ikan
Lubuk Larangan menjadi cara konservasi tradisional yang dilakukan masyarakat sepanjang Sungai Subayang. Lebih kurang ada sekitar 24 Lubuk Larangan di sungai yang memiliki panjang kurang lebih 80 km tersebut. Satu desa memiliki dua sampai tiga lubuk larangan.
“Lubuk tersebut dijaga betul. Tidak ada yang memancing di sana. Dengan begitu, ikan sempat memijah dan berkembang hingga ukurannya besar. Kalau tidak ada aktivitas manusia di situ, tentu ikan tidak akan pergi-pergi karena sudah punya tempat hidup yang nyaman,” kata Doni Susanto, penanggung jawab Water Lab WWF di Subayang.
Keanekaragaman ikan cukup baik di Subayang. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Universitas Riau Tahun 2015, terdapat lebih dari 72 jenis ikan di Sungai Subayang. Beberapa diantaranya sudah sulit ditemui di tempat lain.
“Jenis ikan di Subayang adalah ikan natif air tawar seperti ikan tapa, belida, sinarek, berbagai jenis ikan rasbora atau pantau, ikan gadih dan lain sebagainya. Ikan belida dan gadih termasuk ikan yang langka. Bentuknya agak pipih, bentuk torpedo, warna kecoklatan dan paling enak menurut masyarakat di sini,” kata Doni.
Menurut Dosen Biologi Fakultas Ilmu Keguruan Universitas Riau, Darmadi, variasi ikan di Lubuk Larangan Desa Tanjung Belit sangat bagus. Cukup banyak jenis ikannya, seperti sinarek ukurannya besar-besar, belidanya juga besar-besar. Jenis ikan kapiek tetap yang paling banyak.
Khusus ikan Belida, ada aturan yang melindungi keberadaan ikannya. Ikan Belida masuk dalam status perlindungan penuh karena sudah terancam punah. Perlindungan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Nomor 1 tahun 2021. Sacara internasional, Belida termasuk jenis ikan terancam.
Darmadi menjelaskan, kualitas air Sungai Subayang masih bagus. “Airnya masih dalam posisi baik dari berbagai indikator. Kalau dilihat dari BOD, CODnya, selisihnya belum terlalu jauh,” terang Darmadi
BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme untuk mengurai bahan organik didalam air. Sedangkan COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan jumlah kebutuhan senyawa kimia terhadap oksigen untuk mengurai bahan organik.
Dijelaskan Darmadi, tata kelola sungai bermacam-macam. Ada yang hanya berbasis ekosistem, ada juga dengan pola hulu hilir. Berbasis ekosistem artinya menyelamatkan ekosistem dengan berbagai peraturan. Sedangkan pola hulu hilir adalah pola pemanfaatan seperti yang dilakukan PLTA Koto Panjang. Bagian hulu dijaga dengan menyelamatkan hutan di Sumatera Barat, PLTA Koto Panjang di hilir memanfaatkan. Dari upaya itu nanti akan ada imbal jasa.
Pengelolaan Sungai Subayang dilakukan berdasarkan kearifan lokal. Tradisi yang ada di masyarakat diberdayakan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
“Secara ekologi cara ini efektif untuk konservasi ikan sungai. Lubuk Larangan memberikan tempat, ruang dan waktu bagi ikan hidup dan berkembang biak. Logikanya, semakin banyak Lubuk Larangan maka akan semakin bagus. Ruang untuk ikan berkembang biak semakin banyak. Ruang tangkapan masyarakat untuk memancing dan menjaring jadi semakin sempit,” terang dosen yang memilih Sungai Subayang sebagai lokasi penelitian untuk disertasinya ini.
Lubuk wilayah yang dalam menjadi tempat ikan berlindung. Aliran yang tidak deras baik bagi ikan berkembang biak. “Terlepas dari mitos Lubuk Larangan. Biasa dalam tradisi selalu ada mitologi terkait. Namun dalam logika kita, ikan itu bukan tidak pergi, tetapi memang tempat dia di situ,” tambah Darmadi.
Ancaman
Potensi ancaman yang paling umum adalah hilangnya kearifan lokal masyarakat sepanjang Sungai Subayang. Kearifan lokal seperti Lubuk Larangan sangat positif untuk menjaga lingkungan di sana. Mereka juga memiliki sistem pantang larang adat. Masyarakat tidak diizinkan membuka lahan di pinggir sungai. Karena kalau membuka lahan, erosi akan mudah terjadi.
Masyarakat masih membiasakan diri menanam tanaman kebun, seperti karet. Untuk menanam, mereka tidak melakukan landclearing, hanya menyisip di sela-sela pepohonan hutan.
“Semua aturan adat Itu positif. Mau di pinggir sungai atau daratan, itu akan mengurangi dampak kehilangan keanekaragaman hayati dan dampak-dampak fisik seperti erosi,” kata Darmadi.
“Ada juga larangan membuang sampah di singai dan di hutan. Cuma sampah, masyarakat masih membuang. Tetapi secara adat mereka melarang. Artinya kalau sudah tidak ada larangan, kearifan lokalnya hilang sistem pengelolaan lembaga adatnya hilang, itu lebih terancam lagi,” lanjutnya.
Kualitas air subayang masih baik dari berbagai indikator. Keterancamannya, kalau mereka boleh membuka lahan di pinggir sungai, semakin bebas membuang sampah, pasti akan berdampak negatif. Karena kalau di lihat dari BOD, COD selisihnya belum terlalu jauh.
Hanya dari sisi jumlah penduduk perlu diwaspadai. Jumlah buangan kotoran ke sungai yang paling signifikan, bila jumlah penduduk meningkat. “Cuma dari data BPS dalam 5 tahun terakhir, angka pertumbuhan penduduknya sangat kecil. Kalau pertambahan penduduknya tinggi itu berbahaya juga,” kata Darmadi.
Masyarakat sepanjang Sungai Subayang masih patuh adat. Modernisasi yang salah arah bisa menjadi potensi ancaman. Beberapa kasus, ada masyarakat yang menjual lahannya ke pihak luar. Lahan tersebut berada di pinggir sungai. Bukaan lahan itu bisa dilihat di seberang Desa Gema. Mereka menanamnya dengan tanaman sawit. “Tapi katanya tidak hidup,” ungkap Darmadi.
Ancaman lain adalah limbah bila ekowisata dibuka. Tapi kalau menggunakan embel-embel eko, biasanya sudah memikirkan pengelolaan limbah. Pengelolaan wisata yang tidak merusak kawasan hutan akan cukup bagus diterapkan.
Berdasarkan hasi perhitungan evaluasi ekonomi di Tahun 2019, bentang alam mencampai angka Rp3 triliun lebih per tahun. “Yang paling tinggi pasti karbon. Kalau evaluasi, berarti menghitung yang bernilai guna dan bernilai intrinsik.
Karbon memiliki nilai guna tidak langsung, termasuk air di dalamnya. Nilai guna langsung seperti ikan, lahan pertanian dan perkebunan. Kalau di sana ada harimau dan kawasan suaka margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling, nilainya sangat tinggi bila itu diuangkan. Tetapi yang terakhir ini tidak termasuk nilai guna.
“Sekarang bagaimana memberdayakan itu untuk kepentingan masyarakat. Apakah dengan ekowisata untuk menguatkan ekonomi masyarakat agar mereka tidak merusak lingkungan,” ungkap Dosen ini.
Suatu kawasan mampu mempertahankan karbon seharusnya mereka mendapat pembinaan atau insentif terkait isu perubahan iklim. Perubahan iklim banyak dipengaruhi oleh buangan karbon ke udara. Kalau masyarakat adat dalam tata kelolanya sangat melindungi itu, seharusnya mereka memperoleh insentif. Walaupun wilayah itu dilindungi UU tentang suaka margasatwa. Peran masyarakat lokal dalam menjaga lingkungan juga harus dihargai,” tutup Darmadi.*
Keren, ada beberapa sebenarnya di Riau dengan adat yg sama, mungkin namanya beda..👍👍
Keren..👍👍