JAKARTA – Parlemen Uni Eropa menyetujui penundaan implementasi Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) selama satu tahun. Penundaan itu diputuskan melalui mekanisme voting pada 14 November 2024 yang diajukan sebelumnya oleh Komisi Uni Eropa pada 2 Oktober 2024. Padahal regulasi tersebut memiliki potensi besar untuk mencegah penggundulan hutan alam, khususnya di wilayah-wilayah yang selama ini terbebani dengan berbagai izin konsesi.
“Kami dengan tegas menolak penundaan EUDR, yang diharapkan dapat menjadi instrumen penting dalam mengurangi laju deforestasi di Indonesia sekaligus memperbaiki tata kelola sumber daya alam yang selama ini lemah. Penundaan implementasi EUDR akan menjadi kemunduran signifikan dalam upaya global melindungi hutan,” kata Ketua Satya Bumi, Andi Muttaqin dalam diskusi bertajuk “Indonesian Civil Society’s Filing of an Objection Letter to the EU Parliament About the EUDR Postponement” di Hotel Des Indes, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu, 21 November 2024.
Ada tiga alasan utama yang mendasari alasan tersebut. Pertama, EUDR dapat mendorong pemerintah Indonesia untuk memperbaiki tata kelola perkebunan dan kehutanan yang selama ini yang masih menghadapi banyak tantangan, seperti korupsi dan transparansi data.
Kedua, kesiapan petani kecil juga perlu dipercepat, sehingga mereka mampu beradaptasi dengan tuntutan keberlanjutan yang diatur dalam EUDR.
Ketiga, regulasi ini memberikan tekanan kepada pemangku kepentingan untuk memperkuat kebijakan lingkungan yang selama ini kurang efektif. Semua poin ini telah Satya Bumi sampaikan secara rinci dalam surat mereka kepada pihak terkait.
Pemerintah Indonesia menyambut baik keputusan Parlemen Uni Eropa untuk menunda EUDR yang semula akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Selain Indonesia, penundaan ini juga merupakan desakan dari beberapa negara seperti Malaysia, Austria termasuk Amerika Serikat karena dianggap merugikan kalangan petani berskala kecil (smallholders) dan berkelanjutan terutama di Eropa.
Namun, kata Andi, regulasi EUDR berpotensi mendorong pemerintah Indonesia memperkuat kebijakan dan tata kelola lingkungan yang selama ini lemah. Hingga kini, Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang secara tegas melarang deforestasi. Bahkan, penggundulan hutan sering dilakukan secara legal melalui berbagai izin yang diberikan pemerintah.
Kebijakan nasional yang ada justru kerap membuka ruang bagi penggundulan hutan secara sistematis. Kebijakan semacam ini bertentangan dengan tujuan EUDR dan berisiko merusak reputasi Indonesia di tingkat global dalam hal pengelolaan lingkungan.
“Misalnya, pada tahun 2023, Indonesia memiliki kuota untuk penggundulan hutan. Jadi kebijakan ini tidak memenuhi standar EUDR atau tujuan EUDR,” terangnya.
Implementasi EUDR menghadirkan peluang untuk memperbaiki situasi tersebut. Regulasi ini dapat memaksa pemerintah memperketat kebijakan, meningkatkan transparansi, dan mendorong pelaku usaha serta petani kecil beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan. Instrumen perlindungan hutan seperti Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2011 sejauh ini belum efektif karena pelaksanaannya tidak transparan, sehingga pelanggaran sulit dikontrol.
Asisten Deputi Direktur Pemasaran Internasional Produk Perkebunan, M. Fauzan Ridha, SPt, MSc mengatakan penundaan implementasi EUDR memunculkan tantangan baru bagi industri sawit Indonesia, terutama bagi petani kecil. Salah satu strategi penting yang menjadi andalan pihaknya adalah penerapan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB).
“Kebijakan ini diambil untuk memperbaiki tata kelola sawit di Indonesia, terutama dalam penegakan hukum untuk menindak tegas perusahaan yang sering melakukan aksi ilegal di dalam kawasan hutan hingga berkonflik dengan masyarakat adat. Lokasi, keterlacakan, dan kerahasiaan data adalah kunci utama dalam sistem ini,” terangnya.
Untuk mendukung implementasi STDB, pemerintah juga mengeluarkan berbagai regulasi, seperti Surat Keputusan Dirjen Perkebunan Nomor 37 Tahun 2024 yang menjadi landasan percepatan. Prosesnya meliputi pencatatan, pemetaan data berbasis digital, hingga verifikasi mandiri oleh petani.
“Verifikasi ini sangat penting untuk memastikan data akurat, terutama dalam konteks kepatuhan terhadap pasal 9 EUDR yang mensyaratkan keterlacakan informasi,” tegasnya.
Terkini, tercatat 63.418 kebun STDB telah diterbitkan dengan cakupan wilayah mencapai 499.695 ha. Namun, angka ini masih jauh dari target. Optimalisasi anggaran juga menjadi bagian dari strategi ini, termasuk melibatkan dana CTO dan sumber pembiayaan lainnya.
“Kami terus berupaya mempercepat proses penerbitan, termasuk melalui kerjasama dengan perusahaan-perusahaan mitra,” harap Fauzan.
Diskusi ini ditaja oleh The Society of Indonesian Environmental Journalist (SIEJ) bekerjasama dengan Jakarta Foreign Correspondents Club (JFCC) dan dihadiri oleh sejumlah jurnalis yang bekerja di media asing di Jakarta. (Rls)