PEKANBARU – Pemerintah penting menerapkan prinsip kehati-hatian dan meninjau ulang rencana mengubah 20,6 juta hektare (ha) hutan di Indonesia guna mendukung program swasembada pangan, energi dan air. Rencana pemerintah tersebut bertentangan dan mengganggu jalannya komitmen perubahan iklim secara internasional. Dan jelas berdampak buruk terhadap Riau.
“Paradigma menilai jika pemerintah tetap bersikukuh untuk membuka lahan tersebut maka akan bertentangan dan mengganggu jalannya komitmen perubahan iklim,” kata Direktur Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Paradigma Riau, Riko Kurniawan dalam konferensi pers pada Selasa (21/01/2025).
Tak kurang dari 15,53 juta ha diambil dari kawasan hutan belum berizin dan 5,07 juta ha dari kawasan hutan berizin. Padahal usai COP 21, Indonesia meratifikasi perjanjian Paris menjadi Undang Undang No.16 Tahun 2016 sebagai bentuk komitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan pertahanan atas perubahan iklim.
Pada NDC 2016, Indonesia menargetkan pengurangan emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan hingga 41% dengan dukungan internasional, dengan target net emisi pada 2030.
Komitmen tersebut diturunkan kembali dalam kebijakan Indonesia’s Forestry And Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 yang tertuang dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 168 tahun 2022.
“Target NDC terbesar ada pada sektor hutan dan lahan. maka FOLU ditargetkan akan menyerap gas rumah kaca 31,89% usaha sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional. FOLU akan diproyeksikan sebagai usaha perlindungan dan pemulihan hutan seluas 95 juta hektar dengan target penyerapan karbon 140 juta ton CO2e,” jelas Riko.
Kebijakan perlindungan hutan lainnya yakni masih berlaku; moratorium pemberian izin untuk pembukaan hutan dan gambut dalam Inpres 6 tahun 2017 dan Inpres 5 tahun 2019. Lalu evaluasi dan penundaan pemberian izin pada hutan untuk penanaman sawit dalam Inpres 8 tahun 2018.
“Komitmen Internasional sudah dibangun dan kebijakan FOLU Net Sink untuk mencapai net emisi serta kebijakan moratorium bidang kehutanan masih berlaku. Jika disandingkan dengan rencana pembukaan hutan 20 juta hektar maka ini jelas akan mengganggu pencapaian komitmen tersebut,” ujar Riko Kurniawan.
Hutan adalah benteng terakhir yang kita miliki untuk melindungi keanekaragaman hayati dan menangkal krisis iklim. Mengubah 20,6 juta hektar hutan menjadi kebun sawit sama saja dengan mempercepat kerusakan lingkungan, meningkatkan frekuensi bencana alam, menambah daftar panjang konflik agraria serta konflik antara manusia dan satwa yang kehilangan habitatnya.
Dalam konferensi pers tersebut, Paradigma Riau juga mengajak masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi lingkungan untuk bersatu menyuarakan penolakan terhadap rencana ini. Paradigma menilai pemerintah perlu mengedepankan solusi yang lebih ramah lingkungan, seperti Prinsip kehati-hatian, Perbaikan Tata Kelola Hutan, memperkuat kebijakan FOLU Sink Net, memperkuat implementasi kebijakan moratorium izin dan prioritaskan pengendalian perubahan iklim.*
Reporter: Ludia