PADA tanggal 28 Maret 2023, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis pihaknya tidak lagi merekomendasikan vaksinasi COVID-19 penguat (booster) tambahan bagi orang dewasa biasa dengan risiko sedang, karena manfaatnya yang kecil.
Menurut pakar vaksin WHO, orang dewasa dengan risiko sedang yang sudah mendapatkan vaksinasi penuh COVID-19 ditambah satu dosis penguat, dosis tambahan yang diperoleh setelah itu tidak menimbulkan risiko apa-apa, hanya saja manfaatnya sedikit.
Strategic Advisory Group of Experts on Immunisation (SAGE) WHO mengeluarkan rekomendasi baru setelah melangsungkan pertemuan rutin dua kali setahun. Rekomendasi baru SAGE mencerminkan dampak varian Omicron yang dominan dan tingkat kekebalan tinggi yang kini telah tercapai pada populasi oleh vaksinasi.
SAGE telah mengeluarkan tiga kategori prioritas vaksinasi COVID-19 yang baru dan disederhanakan, yaitu kategori tinggi, medium dan rendah, berdasarkan risiko tingkat keparahan penyakit atau kematian.
Epidemiolog dan Peneliti Indonesia dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, pertimbangan skema pemberian vaksin booster covid-19 tersebut merujuk pada masalah resiko kelompok itu mengalami sakit parah atau kematian. Selain melihat dampak, juga mempertimbangkan performa dari vaksin itu sendiri, cost efektivitasnya dan masalah programnya.
“Artinya, dengan ancaman polio, campak dan rubella yang sekarang lebih tinggi, maka harus diberikan vaksin. Pertimbangan itulah yang menjadi pertimbangan setiap negara dalam menetapkan prioritas vaksin,” jelas Dicky kepada Bentalanews.id melalalui pesan suara, Jumat (31/3/2023).
Karena penyakit lain meningkat, sehingga itu yang harus dikejar vaksinansinya. Pemberian vaksin Covid-19 akan seperti vaksin flu yang cenderung diwajibkan pada kelompok beriso tinggi.
“Tapi ini jangan sampai dikaitkan dengan teori konspirasi bahwa vaksin tidak aman ya,” ucap Dicky mengingatkan.
Perubahan yang dikeluarkan WHO tidak terlalu signifikan. Perlakuan pada kelompok prioritas tinggi seperti Lansia, orang dengan komorbid, anak dan tenaga medis masih sama. Kelompok resiko tinggi masih memerlukan vaksinasi rutin, apakah 6 bulan sekali atau satu tahun sekali, tergantung jenis vaksin.
Yang berbeda terjadi di kelompok prioritas menengah dan rendah. WHO tidak menyarankan booster secara rutin kepada kelompok tersebut.
Pada prioritas rendah yaitu anak sehat dan remaja, bukan kelompok yang disarankan booster. Setelah mendapatkan vaksin primer, tidak ada rekomendasi bagi mereka untuk mendapatkan vaksinasi booster.
“Seandainya kelompok menengah dan rendah mau dibooster tidak apa-apa juga, tergantung ketersedian vaksinnya. Saat ini yang bisa dan memang penting diberlakukan adalah vaksin primer saja. Misalnya sinovac perlu 3 kali, sedangkan Pfizer dan Moderna cukup 2 kali,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung ini.
Zoonosis
Mengutip laman WHO Zoonosis adalah penyakit atau infeksi apa pun yang secara alami dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia.
Atau dengan kata lain, zoonosis adalah penyakit menular yang melompat dari hewan ke manusia. Patogen zoonosis dapat berupa bakteri, virus atau parasit, atau mungkin melibatkan agen nonkonvensional dan dapat menyebar ke manusia melalui kontak langsung atau melalui makanan, air dan lingkungan.
Mereka mewakili masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia karena hubungan dekat kita dengan hewan di bidang pertanian, sebagai sahabat dan di lingkungan alam. Zoonosis juga dapat menyebabkan terganggunya produksi dan perdagangan produk hewani untuk pangan dan kegunaan lainnya.
Ada lebih dari 200 jenis zoonosis yang diketahui, termasuk Covid-19. Zoonosis terdiri dari sebagian besar penyakit baru dan yang sudah ada pada manusia. Beberapa zoonosis, seperti rabies, 100% dapat dicegah melalui vaksinasi dan metode lainnya.
Dicky menyebutkan ada banyak faktor yang berkontribusi pada peningkatan kasus zoononis dalam dua dekade terakhir. Bahkan 75 persen dari penyakit yang mewabah saat ini adalah zoonotic diseases.
Setidaknya ada lima penyebab zoonosis, pertama, karena semakin meningkatnya jumlah manusia, eksploitasi terhadap lingkungan yang merusak ekosistem, terutama adalah habitat alam liar atau hewan liar. Seiring dengan makin meluasnya pemukiman, penebangan hutan telah berdampak pada hewan liar. Populasinya semakin mendesak untuk bermigrasi, yang semakin dekat juga kontaknya dengan manusia. Ini akhirnya meningkatkan resiko terjadinya transmisi zoonotic diseases yang asal muasalnya ada di hewan.
Penyebab kedua adalah akibat perubahan Iklim. Perubahan temperatur cuaca menyebabkan potensi hadirnya penyakit baru dan penyakit lama, contohnya demam berdarah dan malaria. Penyakit ini sudah semakin menyebar, bahkan sampai ke dataran yang lebih tinggi seperti di kaki gunung mount everest. Perubahan iklim membuat vektor yang membawa penyakit, terutama nyamuk dan kalelawar akhirnya berubah, bahkan meluas. Yang tadinya hanya ada di satu atau dua lokasi, sekarang meluas hingga ke berbagai kawasan.
Ketiga, faktor globalisasi dan meningkatnya perjalanan internasional. Dalam hal ini termasuk perdagangan internasional. Penyakit bisa menyebar lebih luas, mudah, melintasi benua yang artinya penularan potensi wabah di satu negara atau wilayah bisa lebih cepat menyebar ke seluruh dunia.
Penyebab selanjutnya adalah perubahan perilaku pada pola bertanam dan berkebun petani. Industri pertanian telah menyebabkan peningkatan jumlah hewan yang dikonsumsi untuk makanan. Yang tadinya hewan tersebut tidak dikonsumsi jadi dikonsumsi dengan lebih mudah, lebih banyak. Satu negara atau wilayah yang tadinya tidak mengkonsumsi kangguru misalnya, namun dengan globalisasi, perubahan pola perkebunan, peternaan ini, orang-orang belahan negara lain bisa merasakannya.
Eksploitasi dan peningkatan jumlah hewan yang dikonsumsi ini menimbulkan kondisi ideal terjadinya transmisi penyakit diantara manusia dan hewan. Baik masa peternakan maupun pada saat pengepakannya apabila tidak ditata dengan baik.
Kelima adalah resistensi antibiotik. Faktor ini diakibatkan oleh penggunaan antibiotic yang tidak rasional atau berlebihan, bukan hanya pada manusia tetapi juga pada hewan. Resistensi terhadap antibiotik ini tidak bisa dianggap remeh, bisa menyebabkan terjadinya timbulnya bakteri yang resisten yang kebal terhadap antibiotik.
“Artinya, bicara penyakit hewan itu bukan hanya penyakit virus tetapi ada juga bakteri dari hewan yang bisa ditransferkan pada manusia. Untuk merespon kelima faktor yang berkontribusi terhadap timbulnya zoonosis ini perlu ada pendekatan Onehealth yang betul-betul dilakukan secara komprehensif dan implementatif,” jelas Dicky.
KLB di Burundi
Saat ini ditemukan terjadi wabah atau Kasus Luas Biasa (KLB) di Burundi yang dialami komunitas Gitobe di Provinsi Kirundo, provinsi yang berbatasan langsung dengan Tanzania. Tiga kasus kematian terjadi dalam waktu tidak sampai 24 jam, perburukannya sangat masif dengan perdarahan yang timbul dari hidung.
“Kecurigaan di awal adalah Ebola dan Marburg virus. Namun setelah diperiksa negatif. Dugaaan ini zoonotic diseases, penyakit hewan yang pindah ke manusia,” ungkap Dicky.
Yang membedakan antara Ebola dan Marburg terdapat pada tempat terjadinya perdarahan. Pada Ebola dan Marburg, perdarahan keluar dari semua lubang yang ada pada tubuh manusia, namun pada temuan di Burundi hanya dari hidung. Dari kategori di lapangan, masuk dalam Hemorrhagic diseases karena ada demam dan perdarahan.
Dari kasus tersebut, perlu diwaspadai ancaman wabah berikutnya.
“Masa akut pandemi Covid-19 sudah bisa dilewati dengan modal imunitas, namun ancaman wabah berikutnya sudah antri. Artinya, perilaku hidup bersih sehat ini sangat dituntut. Di tengah semua mulai dilonggarkan, PPKM tidak ada, jangan lupakan bahwa peran kita masing-masing untuk meningkatkan perilaku hidup bersih sehat. Ini sangat amat penting,” jelas pakar yang sering terlibat dalam isu kesehatan global dan nasional ini.
Menurut Dicky, kita adalah generasi pertama yang merasakan perubahan dari lingkungan ini, pemanasan global dan potensi wabah yang semakin besar bahkan mengalami pandemi yang besar. Dan kita juga generasi yang mempunyai kesempatan, kemampuan untuk merubah situasi dunia menjadi lebih baik, termasuk di Indonesia.
“Kita ada di era dimana perubahan iklim ini kita rasakan dan ikut menjadi saksi. Kita harus pula menjadi pelaku yang merubah itu semua. Dengan cara apa? Perilaku hidup bersih sehat, biar generasi mendatang tidak mendapatkan kondisi dunia yang lebih parah dengan kerusakan lingkungan, punahnya hewan dan lain sebagainya,” tandas Dicky Budiman.
Penulis: Winahyu Dwi Utami