KELOMPOK masyarakat sipil yang bergabung dalam Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) menilai rencana pemerintah menjadikan proyek Dimethyl Ether (DME) atau gasifikasi batubara sebagai langkah sesat. Kebijakan yang tidak populis ini hanya bertujuan melanggengkan industri Batubara. Yang menjadi salah satu target utama eksploitasi tersebut adalah di Pulau Sumatera.
Konsolidator STuEB, Ali Akbar mengatakan, Daya Anagata Nusantara (Danantara) sebagai superholding seharusnya berfungsi menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka panjang dengan investasi yang menyasar pada pengembangan sumber daya manusia dan ilmu pengetahuan.
Ia mengambil contoh Temasek yang menyasar pada teknologi dan informasi yang pada masa depan akan terus dimanfaatkan dan terus bertumbuh. Sementara hilirasasi pengelolaan sumber daya alam seperti Batubara, pada satu sisi akan habis dan pada sisi lain dimusuhi secara global.
Pernyataan yang disampaikan melalui siaran pers tersebut merupakan respon terhadap langkah pemerintah mempercepat 21 proyek hilirarisasi yang 4 diantaranya adalah proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) senilai Rp180 triliun. Pendanaan proyek berasal dari Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara. Empat proyek DME ini diperkirakan berlokasi di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan.
“Investasi yang bertumpu pada sumber daya alam yang terbatas, seperti batubara dapat dipastikan tidak akan berkelanjutan. Ketika dunia internasional sudah mundur dari investasi energi kotor, justru Indonesia lewat Danantara melakukannya,” kata Ali, Rabu, 12 Maret 2025.
Apalagi dana yang terhimpun untuk Danantara juga berasal dari efisiensi berbagai program yang seharusnya dapat dinikmati langsung oleh rakyat, mulai dări sektor pendidikan, kesehatan hingga pengentasan kemiskinan.
Dampak Sosial
Di sisi lain, STuEB juga mengingatkan pemerintah tentang dampak sosial, lingkungan, ekonomi dan kesehatan yang harus ditanggung rakyat dari eksploitasi batubara, mulai dări sektor hulu di wilayah penambangan hingga ke hilir di proyek Pembangkit LIstrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di 8 provinsi, rakyat sekitar lokasi proyek PLTU batubara di Sumatera menderita dan menangung kerugian akibat dampak lingkungan yang merusak mata pencarian dan kesehatan.
Ketua Yayasan Anak Padi Lahat Sumatera Selatan, Syahwan mengatakan, proyek PLTU Batubara yang dioperasikan PT Primanaya Energi membuat air sungai berubah warna jadi hitam kecoklatan. Kondisi itu membuat Warga Desa Kebur dan Muara Maung tak lagi mendapat ikan di sungai.
“Jika DME dijadikan bahan pengganti gas untuk kebutuhan rumah tangga yang bahan utamanya adalah batu bara, maka warga di sekitar pertambangan akan semakin sengsara. Karena batubara akan diekspolitasi akan lebih besar lagi. Mąka kami meminta Presiden Prabowo untuk menghentikan rencana ini,” kata Sahwan.
Direktur Hutan Kita Institut (HaKI) Sumatera Selatan, Deddy Permana menambahkan bahwa produk energi fosil, terutama batubara akan memperburuk krisis iklim. Ia menilai tujuan pendanaan Danantara untuk industri batubara hanya untuk menjaga agar industri ini terus berlanjut. Ditambah lagi dengan tindakan pemerintah yang memberikan konsesi tambang batubara kepada organisasi massa yang bukan bidangnya.
“Ini semua bukan untuk kepentingan umum masyarakat Indonesia. Secara internasional. pemerintah tidak berkomitmen untuk pencegahan perubahan iklim serta bertolakbelakang dengan komitmen terhadap transisi energi menuju net zero emission pada tahun 2060,” kata Deddy.
Di Dusun Suak Puntong Kabupaten Nagan Raya, Aceh, masyarakat terpaksa menyingkir dari permukimannya akibat debu dari truk-truk pengangkut batubara dan abu pembakaran dari PLTU yang dioperasikan PT PLN Nusantara Power. Akibatnya, dalam kurun tiga tahun terakhir, tercatat 146 kasus ISPA di dusun itu.
“Pemerintah harus mengambil ketegasan, yaitu suntik mati PLTU dan beralih ke energi bersih, karena penderitaan rakyat sudah cukup. Rakyat berhak atas hidup sehat dan bersih,” kata Direktur Yayasan Apel Green Aceh, Rahmad Syukur.
Menurut Direktur Lembaga Tiga Beradik (LTB) Jambi, Hardi Yuda, sebelum menetapkan DME batubara dengan pembiayaan Danantara, sebaiknya Prabowo melihat secara utuh dampak penderitaan rakayat yang disebabkan oleh PLTU dan tambang batubara.
Di Provinsi Jambi kata Yuda, masyarakat Desa Semaran, setiap hari menghirup udara kotor, lingkungan tercemar akibat PLTU yang dioperasikan PT Permata Prima Elektrindo. Kesehatan Masyarakat, khususnya anak-anak terancam. Ratusan lubang-lubang bekas tambang batubara tidak direklamasi, membentuk danau yang mengancam ekosistem dan kehidupan.
Hutan menjadi hancur dan tanah kehilangan kesuburan. Tidak hanya itu, ditambah lagi sungai tercemar dan masyarakat kehilangan ruang hidup, bahkan menelan ratusan korban nyawa akibat aktivitas mobilisasi hasil tambang yang melewati jalan nasional.
“Candi Muaro Jambi sebagai situs cagar budaya nasional terluas di Asia Tenggara terancam rusak akibat dikepung stockpile batu bara,” kata Yuda.
Sungai Siak
Dampak lingkungan yang ditanggung Sungai Siak di Pekanbaru Riau, tak kalah merusaknya. Akibat PLTU Batubara Tenayan Raya yang beroperasi di tepi sungai. ikan-ikan hilang, air berbau busuk. Nelayan setempat kehilangan mata pencaharian sehingga terpaksa beralih jadi buruh kasar.
“Kondisi rakyat di sekitar PLTU Tenayan Raya cukup menjadi potret daya rusak hilirisasi batubara. Belum lagi PLTU ini bahan baku utamanya ialah batubara yang faktanya juga menimbulkan persoalan agraria, lingkungan sampai kriminalisasi,” kata Direktur LBH Pekanbaru, Andri Alatas.
Di PT Tenaga Listrik Bengkulu, operator PLTU Batubara Teluk Sepang Bengkulu membuang FABA serampangan di sekitar permukiman, tepi jalan umum hingga ke hutan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai. Akibatnya, cemara mati, warga Teluk Sepang menderita ISPA secara massal, penyakit kulit diderita puluhan orang. Anehnya, pemerintah malah mengeluarkan TWA yang jadi lokasi pembuangan FABA menjadi area non-hutan.
Direktur Yayasan Srikandi Lestari Sumatera Utara, Mimi Surbakti pun mempertanyakan tujuan pembentukan Danantara yang dinilai hanya untuk kemakmuran elit oligarki yang menguasai industri batubara,
“Kami warga di tapak sudah merasa sangat senang dengan wacana akan ada pensiun dini PLTU. Tapi saat ini, kami sangat kecewa karena rakyat lagi yang akan menanggung dampaknya. Untuk apa Danantara kalau menimbulkan kesengsaraan?” ucap Mimi.
Di Sumatera Utara, limbah FABA dibagi-bagikan oleh PT PLN Indonesia Power kepada warga Sei Siur Pangkalan Susu sebagai bahan tanah timbunan tanpa melakukan sosialisasi ataupun sterilisasi. Hal ini membuat masyarakat Pangkalan Susu yang sudah terlanjur menerima limbah tersebut, terancam kesehatannya dan mulai menderita penyakit kulit, batuk berkepanjangan, paru-paru hitam hingga munculnya berbagai penyakit kanker.
Alfi Syukri Koordinator STuEB Sumatera Barat menyebut akan sia-sia berharap ekonomi tumbuh jika alam terus dihancurkan. Ia mengutip data Kementerian ESDM pada 2024 yang mencatat produksi batubara mencapai 836 juta ton, melebihi target 710 juta ton (117%). Eksploitasi yang jauh melampaui kebutuhan, mencerminkan kerakusan yang merusak.
“Kita sudah mengorbankan alam demi industri ekstraktif yang diperparah dengan wacana hilirisasi dan gasifikasi batubara. Batubara tidak hanya merusak lingkungan, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan masyarakat. Polusi udara akibat pembakaran batubara menyebabkan penyakit pernapasan, gangguan jantung, dan berbagai masalah kesehatan lainnya. Sementara itu, eksploitasi batubara merusak ekosistem, menghilangkan sumber daya alam yang seharusnya menjadi penopang kehidupan jangka panjang,” tandasnyanya.*
Editor: WD Utami