PULUHAN laki-laki dan perempuan menyerberangi Batang Muar dengan sampan yang oleh masyarakat setempat disebut ketek. Pemandangan itu terlihat setiap sore sekitar pukul 15.00 Wib. Mereka adalah buruh kebun perusahaan sawit yang pulang bekerja.
Rindu (35 tahun) keluar dari rumah menuju tepian Batang Muar usai shalat subuh setiap hari. Ia bangun pukul 04.00 Wib untuk menyiapkan makanan bagi anak-anaknya, serta bekal dirinya dan suami ke tempat kerja. Ia dan keluarga bergantung hidup dari bekerja sebagai buruh kebun kelapa sawit.
“Saya bekerja sudah 1 tahun dengan gaji 108.000 rupiah per hari. Dalam sebulan, saya bekerja sekitar 28 hari,” kata Rindu saat ditemui di tepian Batang Muar, 3 Juni 2023.
Ia mengaku tak tahu harus bekerja apa untuk membantu perekonomian keluarga. Lapangan pekerjaan yang bisa dia akses sebagai ibu rumah tangga, cuma di perkebunan.
Batang Muar adalah sungai yang melintasi Kecamatan Malin Deman yang berhulu di pedalaman Taman Nasional Kerinci Seblat, Bengkulu. Aktivitas di sungai ini sudah dimulai sejak subuh. Para pekerja perusahaan pekebunan kelapa sawit sangat membutuhkan jasa perahu penyeberangan agar bisa ke seberang. Di seberang sudah menunggu sejumlah truk yang akan mengangkut mereka menuju lokasi kerja.
Dalam sekali trayek, pemilik sampan mengenakan tarif 5 ribu rupiah per orang. Pembayaran biasa dilakukan saat kembali dari PT, begitu mereka menyebut tempatnya bekerja. Hal tersebut tidak menjadi persoalan, pemilik sampan tetap setia dan senang hati mengantarkan para pekerja ke seberang di waktu subuh dan kembali di sore hari.
Aktivitas di Sungai Muar tidak hanya ada ketika pekerja kebun pergi dan pulang, tetapi juga menjadi jalur lalu lintas angkutan buah sawit masyarakat. Batu-batu sungai yang melimpah ditambang pula untuk bahan bangunan, bahkan mereka juga menjualnya. Ketika sumber air masyarakat kering di musim kemarau, sungai menjadi sangat penting menanggulangi kebutuhan akan air.
Tanpa lahan garapan, berbagai cara dilakukan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Fenomena unik muncul di Malin Deman, yaitu jual beli dengan konsep Cash on Delivery (COD). Kaum perempuan di sana memanfaatkan media sosial, khususnya facebook untuk berdagang. Apapun mereka jual, mulai dari hasil kebun hingga makanan siap jadi ke orang-orang kampung. Jaringan internet yang bagus, menunjang proses jual beli online tersebut.
Penulis pernah mencoba memesan pisang goreng dengan cara COD. Setelah mencari dan menentukan produk mana yang dipilih, penjual kemudian di-japri. Tidak sampai setengah jam pasca pemesanan, pisang goreng hangat sudah sampai di depan pintu. Tidak ada tambahan biaya untuk jasa pengantaran tersebut.
Sumi adalah salah seorang yang berjualan dengan konsep COD di Desa Talang Arah. Ia menjual cabai, bawang, jengkol, buah mangga melalui facebook. Barang dagangannya pernah terjual hingga ratusan kilogram.
“Aku menjual apa saja melalui COD. Kalau sedang musim mangga aku jual mangga. Kalau ada bawang, aku jual bawang. Tergantung barang yang tersedia di tempat langganan aku berbelanja,” kata Sumi.
“Karena aku sudah dipercaya, kadang aku ambil barang dulu, setelah habis baru dibayar,” jelas ibu satu anak ini.
Apa yang dilakukan Rindu, Sumi dan perempuan lain di desanya merupakan gambaran yang terjadi pada masyarakat yang kehilangan lahan kelola.
Menurut Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Mayarakat (LPESM) Woro Supartinah, di saat pengelolaan sumber daya alam tidak berpihak kepada masyarakat, perempuan akan memiliki beban berlebih. Ia tidak hanya harus memastikan urusan domestic berjalan tetapi juga memastikan kebutuhan dalam rumah tangga tersedia.
“Perempuan memikirkan banyak hal dalam satu waktu,” ungkap mantan Koordinator Jikalahari kepada Bentalanews, belum lama ini.
“Ketika laki-laki kehilangan sumber pendapatan, maka perempuan akan mencari cara menjalankan roda rumah tangga, seperti ikut menjadi buruh bersama suami di perusahaan perkebunan atau berjualan. Karena kalau mengharapkan penghasilan laki-laki saja tidak cukup,” jelas Woro..
TORA
Konflik agraria atau konflik sumber daya alam di Malin Deman saat ini sedang dalam proses penyelesaian. Ahli Hukun Agraria dari Universitas Andalan (Unand) Prof Dr. Kurnia Warman, SH, MHum memberikan pandangan bahwa perlindungan terhadap masyarakat Malin Deman yang sedang dalam sengketa hukum adalah penyelesaian secara hukum. Cara yang ditawarkan melalui mekanisme non yudisial dan yudisial.
“Saya merekomendasikan memilih cara non yudisial. Non yudisial itu pilihannya sangat banyak,” kata Kurnia.
Cara non yudisial, artinya tidak menyelesaikan sengketa melalui pengadilan tetapi melalui proses administratif yang ada. Jalur non yudisial ini terbagi menjadi dua, yaitu menggunakan forum pemerintah yang fokusnya pada BPN lewat Permen No.21 Tahun 2020. Jalur kedua, menggunakan jalur Pemda dengan menggunakan Reforma Agraria melalui Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
“Saya petakan yang paling efektif mengembalikan tanah ke masyarakat adalah dengan cara yang kedua, yaitu Reforma Agraria,” ungkap Kurnia.
Reforma agraria tidak mempersoalkan klaim masyarakat. Yang penting masyarakat tersebut adalah orang yang secara faktual adalah warga atau petani yang tidak punya tanah.
“Jadi GTRA dalam kasus di Malin Deman, dua tujuannya akan tercapai sekaligus, yaitu meredistribusi tanah kepada orang-orang yang berhak dan menyelesaikan konflik agraria. Dari awal saya konsisten penyelesaikan sengketa melalui jalur non yudisial lewat GTRA. Cara ini lebih menguntungkan bagi masyarakat dan perusahaan. Karena komoditas yang mereka punya di lahan itu komoditas yang sama yaitu kelapa sawit,” terangnya.
Bila mereka bersengketa, diasumsikan bisa mengganggu proses produksi di perusahaan. Sebab mereka memproduksi tandan buah segar (TBS) yang muaranya adalah ke perusahaan. Jadi antara perusahaan dan masyarakat itu saling terkait untuk kebutuhan yang sama, mereka akan sama-sama untung.
Ada juga jalur non yudisial melalui non pemerintah. Jalur ini bisa menggunakan Undang Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pilihan pada jalur ini bisa di tingkat lokal dengan menggunakan isu-isu lokal, pendekatan ke lembaga atau NGO lokal dan juga ke tingkat global.
“Kalau perusahaan tersebut anggota RSPO, maka kita bisa gunakan jalur RSPO untuk perjuangan. Namun jalur ini juga tidak cepat. Makanya waktu diskusi dengan pemerintah daerah di Mukomuko beberapa waktu lalu, GTRA itu bisa jalan kalau pemerintah daerahnya punya dukungan politik yang kuat,” jelas alumnus Unand.
Namun demikian, Kurnia Warman mengungkap bahwa Indonesia belum berpengalaman lama dengan Reforma Agraria, tapi sudah berpengalaman lama dengan yudisial.
“Tingkat keberhasilan melalui jalur reforma agraria ternyata juga tidak bisa diukur secara kuantitatif. Tapi saya menilai kondisi politik hukum pemerintah saat ini, apalagi reforma agraria merupakan program strategis nasional pemerintah, saya menduga reforma agraria ini menjadi perhatian khusus pemerintah,” terang Kurnia.
Keberhasilan reforma agraria saat ini dinilai bukan hanya kepentingan masyarakat, tetapi juga kepentingan pemerintah untuk membuktikan kinerjanya kepada rakyat. Pemerintah mempunyai dukungan politik yang kuat terhadap reforma agraria.
“Apalagi 2024 tinggal beberapa bulan lagi. Jadi kalau ini dipercepat akselerasinya, maka bisa dilaporkan pemerintah sebagai kinerja pemerintah,” tambahnya.
Objek di Malin Deman dinilai memenuhi syarat sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Apalagi di situ ada penelantaran HGU. Objeknya ada penelantaran dan juga ada konflik. Dua dasar itu cukup kuat untuk pengajuan.
Terkait TORA ini, Kurnia Warman menyebut belum ditemukan data success story TORA sehingga belum ada contoh bahwa reforma agraria bisa menyelesaikan konflik yang diajukan sebagai kinerja pemerintah Kasus di Malin Deman menjadi calon terkuat bagi pemerintah untuk membuktika kinerjanya.
Temui Gubernur
Pada 19 Juni 2023 lalu, perwakilan masyarakat Malin Deman yang didampingi Tim AKAR Foundation melakukan audiensi ke Gubernur Bengkulu. Pada kesempatan itu mereka juga menyerahkan dokumen usulan TORA atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) yang terlantar milik PT Bina Bumi Sejahtera (BBS). Dokumen tersebut sebagai tindak lanjut hasil kesepakatan antara Perkumpulan Petani Pejuang Bumi Sejahtera (P3BS), Forum Kades se-Kecamatan Malin Deman Kabupaten Mukomuko, Ketua BPD se-Kecamatan Malin Deman dan Akar Foundation sebagai NGO pendamping.
Direktur Akar Foundation, Erwin Basrin menyampaikan, atas dasar surat Gubernur tahun 2022 lalu, Bupati Mukomuko, H. Sapuan sudah membentuk Satuan Tugas Gugus Tugas Reforma Agraria (Satgas GTRA). AKAR bergabung dalam Satgas GTRA tersebut. Pihak DPRD Mukomuko juga turut aktif dalam upaya penyelesaian konflik. Demikian pula BPN Kabupaten Mukomuko. PT BBS pun ikut hadir pada pertemuan terakhir beberapa waktu lalu.
“Skenario yang disepakati ketika itu oleh bupati, dari luas lahan 1.889 hektar, sekitar 953 hektar diantaranya disepakati untuk dikeluarkan dari status HGU dan disahkan melalui pendaftaran tanah sistem lengkap (PTSL) oleh Satgas GTRA. Karena fakta di lokasi memang warga yang punya,” terang Erwin melalui rilis yang diterima Bentalanews.id.
Menurut Erwin, masyarakat Malin Deman tidak anti terhadap investasi. Perusahaan silakan mengajukan perpanjangan atau membuat HGU baru atas lahan sisa seluas 935 hektar tersebut. Namun syaratnya, perusahaan berkewajiban menyanggupi menyisihkan 20% dari total luasan atau seluas 187 hektar untuk masyarakat. Skema penerima manfaat 20% itu dibentuklah satu tim di tingkat kecamatan yang diorganisir oleh Camat Malin Deman. Anggotanya para kades di Kecamatan Malin Deman dan beberapa tokoh adat.
Kepada masyarakat, Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah menyampaikan terima kasih atas usulan masyarakat terkait TORA tersebut. Ditegaskannya, usulan TORA merupakan salah satu yang akan segera ditindaklanjut oleh Tim Satgas GTRA. Mengingat sebagaimana diketahui pihaknya belum lama ini sudah melakukan rapat kerja atas persoalan tersebut.
“Konflik ini memang sudah cukup sering dan lama terjadi. Sehingga untuk menguraikan persoalannya membutuhkan waktu dan kesabaran dari banyak pihak. Tentu nanti kita langsung saja mendengar dari perwakilan dan tampung dulu penyampaian substansialnya,” kata gubernur.
Terkait perpanjangan HGU, gubernur menyampaikan bahwa itu kewenangan BPN dan merekalah yang akan berkoordinasi dengan perusahaan terkait. Sedangkan proses sertifikasi tanah melalui skema pendaftaran tanah sistematis lengkap di lahan 953 hektar, harus benar-benar clear and clean. Kordinasi antara aparat desa dengan BPN harus selaras.
Kepala Kanwil BPN Provinsi Bengkulu, Sukiptiyah, S.P., M.Si melalui Kepala Bidang Penetapan Hak dan Pendaftaran Adan Hawadi mengatakan, lahan HGU seluas 1.889 hektar yang dikuasakan oleh PT BBS tertera pada HGU No. 34 tahun 1995. Dari luas 1.889 hektar ini, luas inti lahan seluas 935,573 hektar. Dan luasan lahan enclave untuk masyarakat seluas 953,25 hektar. Dan itu sudah disepakti lahan enclave untuk masyarakat. Hanya saja belum bisa diproses karena masih banyak kesimpangsiuran informasi sehingga BPN melihat persoalan ini belum begitu clear and clean.
Terkait syarat 20% lahan pemanfaatan untuk warga di Malin Deman yang sudah disepakati pihaknya membebaskan pemilihan lahannya.
“Silakan ambil (lahan) dari area mana maunya warga. Bisa juga nanti ambil dari area inti yang di lahan 935 hektar. Silakan kesepakatan antara masyarakat penerima plasma dengan pihak PT BBS,” kata Adam.
Sekretaris PPPBS Lobian Agrianto berharap usulan TORA dari P2BS dapat direalisasikan, demikian pula skema melalui PTSL. Karena lahan itu murni milik lahan masyarakat yang sudah berkebun sebelum PT BBS mendapatkan izin HGU seluas 1.889 hektar pada 1995 lalu. Sejak kehadiran PT DDP pada 2005, masyarakat yang mengelola di lahan 953 hektar tersebut tidak bisa mendapatkan surat kepemilikan tanah (SKT).
“Dari kesepakatan rapat Satgas GTRA pada 10 April 2023 lalu, kami berharap semoga lahan itu nantinya dilepaskan dari izin HGU. Pihak perusahaan dan warga juga sudah setuju itu. Semoga 3 skema yang disepakati itu bisa direalisasikan,” harapnya.
Menurut Ketua DPRD Mukomuko M Ali Saftaini, penyelesaian akhir kasus konflik lahan tetap merujuk pada aturan atau ketentuan yang ada. Tentang rencana perpanjangan izin, maka perusahaan wajib menggunakan 20% untuk pembangunan kebun masyarakat desa atau dalam bentuk lain. Sepanjang itu tidak dilakukan, pihaknya tidak memberi izin perpanjjangan.
“Siapa penerima manfaat 20% itu? Kita kembalikan kepada desa, biar desa yang menentukan warga-warga penerima manfaat. Khusus di lahan PT DDP eks PT BBS, posisi lahannya ada dua. Satu, luasan 935 boleh diperpanjang dengan syarat tunaikan dulu 20%. Kedua, 953 ha akan di-enclave, peruntukannya kita bermohon kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), karena tidak diperpanjang otomatis pemanfaatan dikembalikan kepada kementerian supaya bisa dikembalikan kepada masyarakat,” tandasnya.
Laporan: Winahyu Dwi Utami
Peliputan ini mendapat dukungan dari Adatpedia Journalist Fellowship Bach 2 Tahun 2023