JAKARTA – Koalisi NGO untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (Koral) menolak penerapan sistem kontrak yang tercantum dalam kebijakan Penangkapan Ikan Terukur versi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Aturan baru itu mendegradasi peran negara karena menjadi sejajar dengan pelaku usaha perikanan. Beleid baru itu diketahui masih digodok dan perlu mendapatkan pandangan akhir dari Presiden.
Penolakan disampaikan secara langsung oleh Koral kepada Dirjen Perikanan Tangkap KKP dalam pertemuan yang dilaksanakan secara hibrid pada Senin, 14 Maret 2022.
Mekanisme Sistem Kontrak, tertuang dalam rancangan kebijakan Penangkapan Terukur yang berasal dari kegiatan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan ‘Sistem Kontrak’. Pada rancangan kebijakan tersebut, Sistem Kontrak diartikan sebagai kerja sama pemanfaatan sumber daya ikan antara KKP dengan badan usaha di zona tertentu dalam jangka waktu dan persyaratan tertentu, dengan durasi kontrak selama 15 tahun dan dapat diperpanjang satu kali. Dengan adanya potensi perpanjangan tersebut pelaku usaha bisa mengeksploitasi sumber daya alam di perairan Indonesia selama 30 tahun.
“Alih-alih memaksakan penerbitan Kebijakan Penangkapan Ikan secara terukur lewat sistem kontrak, KKP seharusnya fokus menuntaskan beberapa persoalan utama, seperti membangun kebijakan pemulihan semua stok kelompok jenis ikan di semua WPP yang mengalami overfishing dan menyusun skema kebijakan penyelamatan wilayah pesisir, perikanan, dan kelautan guna merespon dampak buruk krisis iklim yang dapat berakibat kepada ketahanan pangan,” kata Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, Parid Ridwanuddin melalui siaran pers yang diterima Redaksi bentalanews.id, Selasa (15/03).
Laporan terbaru Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang terbit pada 28 Februari 2022 menyebutkan peningkatan suhu akan memaksa ikan berpindah dari wilayah tropis, mengurangi pendapatan nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil di Indonesia sebesar 24 persen. Kebijakan penangkapan ikan terukur yang menyetarakan nelayan kecil dengan pelaku usaha akan membuat perekonomian nelayan tradisional semakin terpuruk dengan sulitnya mendapatkan ikan di laut.
KKP harus menjalankan mandat UU No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, yakni kewajiban untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan tradisional, dalam hal menyediakan prasarana usaha perikanan, kemudahan memperoleh sarana usaha perikanan, jaminan kepastian usaha dan lain sebagainya.
Selain itu perlu memperkuat perlindungan nelayan tradisional karena acap berhadapan dengan berbagai praktik perampasan ruang hidup dan ruang kelola dalam bentuk proyek reklamasi pesisir, pertambangan laut, industri pariwisata, pembangunan smelter nikel, PLTU batu bara, dan lain sebagainya. Itu sebab, Koral menuntut komitmen pemerintah untuk segera menyelesaikan perampasan ruang hidup nelayan tradisional.
Hasil analisis Koral berdasarkan sensus ekonomi BPS (2016), terlihat bahwa suplai ikan nasional 98,88% berasal dari dalam negeri. Rantai pasok pangan perikanan domestik sangat bergantung kepada kelompok nelayan, koperasi nelayan dan usaha perorangan.
“Hal yang perlu diperhatikan adalah dampak dari suatu kebijakan bersifat lintas sektor. Jika kebijakan perikanan terukur diberlakukan dan nelayan kecil tidak mendapatkan kuota penangkapan, praktis akan mengganggu rantai pasok ikan,” ungkap Suhana, Wakil Sekretaris Pandu Laut.
Koral juga menyoroti upaya penegakan HAM di Pelabuhan Benjina. Pemerintah diminta untuk berhati-hati dalam pemberian izin pengelolaannya sebagai pelabuhan perikanan karena dapat menjadi ancaman bagi pasar ikan Indonesia.
“Kita tahu yang pertama kali membongkar kasus pelanggaran HAM di Benjina adalah media asing kemudians mendapat perhatian internasional hingga kini. Sangat disayangkan, KKP mengembalikan pengelolaan Pelabuhan Benjina kepada pihak yang sama, walaupun namanya perusahaannya sudah berganti. Kejadian serupa berpotensi terjadi kembali jika sistem kontrak ini dijalankan,” terang Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Fadilla Octaviani.
Pada 3 Desember 2020, Presiden Joko Widodo telah menandatangani dokumen ”Transformations for a Sustainable Ocean Economy: A Vision for Protection, Production, and Prosperity”. Dokumen ini merupakan bukti Pemerintah Indonesia untuk melakukan perlindungan ekosistem yang efektif, produksi atau pemanfaatan ekonomi kelautan secara berkelanjutan, dan penyejahteraan atau pendistribusian manfaat untuk rakyat secara merata.
Penangkapan ikan dengan kapal yang besar dengan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan akan mengancam kesehatan dan keberlanjutan dari ekosistem laut yang bertentangan dengan prinsip protect effectively. Ketiadaan data akurat terkait stok sumber daya ikan akan terus memperparah kondisi stok sumber daya ikan yang telah dinyatakan fully and over-exploited yang bertentangan prinsip produce sustainably. Tidak diutamakannya nelayan kecil dalam perhitungan kuota akan menyebabkan kompetisi yang tidak adil dan ketidakmerataan kesejahteraan manfaat dari hasil laut, dan ini bertentangan dengan prinsip prosper equitably. Hal ini akan diperparah dengan terus meningkatnya ancaman IUU Fishing yang mengancam kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia.
“Untuk itu, Koral menegaskan, pemerintah untuk tidak terburu-buru menerbitkan sebuah aturan yang sebenarnya masih membutuhkan banyak kajian, termasuk persiapan infrastruktur dan sistem pengawasan yang lebih akurat. Rencana kebijakan ini sarat masalah dan rawan menimbulkan konflik sosial-ekonomi serta memicu penjarahan sumber daya ikan karena integritas dan kapasitas pengawasan yang lemah. Perlu prakondisi yang mendalam dan penyiapan infrastruktur, dan ujicoba sistematis untuk belajar sebelum suatu kebijakan ditetapkan secara permanen. Prinsip kehatian-hatian perlu diprioritaskan,” tutup Parid.
Lembaga yang tergabung dalam Koral ini antara lain Destructive Fishing Watch (DFW), EcoNusa, Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Pandu Laut Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan Yayasan Terangi. (rls)