Pulau Rupat merupakan pulau kecil berada di pesisir timur Sumatera. Secara administrasi, pulau yang memiliki dua kecamatan ini memiliki luas ±1.524,55 km² atau ±152.455 ha masuk di dalam pemerintahan Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Potensinya luar biasa, baik di darat maupun di laut. Kini mulai dikenal sebagai destinasi wisata di Riau Pesisir.
Pantai Rupat Utara adalah salah satu pantai yang menawarkan pesona serta pemandangan alam bahari. Keunikannya dapat langsung terlihat dari panjangnya pesisir pantai berpasir putih yang mencapai 11 km dengan lebar 30 m. Biota-biota air terlihat meliuk menari bermain di air pantai yang jernih.
Dari temuan tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Pulau Rupat telah terbebani izin investasi yang mengancam ekosistem Pulau Rupat, termasuk masyarakat di dalamnya.
Pemerintah Kabupaten Bengkalis dalam website resminya menyebutkan, mayoritas mata pencaharian penduduk di Kecamatan Rupat dan Rupat Utara adalah pengrajin, petani dan nelayan. Para pengrajin melakukan pekerjaannya dari hasil olah sumber daya alam. Mereka memiliki ketergantungan tinggi terhadap keberadaan sumber daya alam. Adanya aktivitas industri ekstraktif di pulau tersebut akan mengancam keberlanjutan mata pencaharian dan ekosistem Pulau Rupat.
“Dilihat dari data spasial, 77,9% wilayah Pulau Rupat adalah gambut. Pulau ini sedang mengalami berbagai ancaman perizinan baik di darat maupun di laut. Di darat, ada tujuh korporasi yang menguasai sekitar 61% daratan. Sementara di laut ada tambang pasir yang mengakibatkan abrasi dan berkurangnya hasil tangkap nelayan,” kata Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring saat meluncurkan Lembar Fakta berjudul “Pulau Kecil Rupat: Dihancurkan di Darat, Dirusak di Laut”, Selasa (8/2) di Rumah Gerakan Rakyat Walhi Riau.
Ada tiga varian investasi industri ekstraktif di pulau tempat Suku Akit tinggal tersebut, yaitu perkebunan kelapa sawit dan kebun kayu hutan tanaman industry atau HTI di darat serta aktivitas tambang pasir di wilayah laut. Lokasinya menyebar merata di Kecamatan Rupat dan Rupat Utara. Aktivitas mereka ada yang legal maupun ilegal.
Olah data spasial dan hasil temuan lapang WALHI Riau, ada tujuh korporasi yang beraktivitas di Pulau Rupat. Enam korporasi melakukan aktivitas perkebunan kelapa sawit dan satu lainnya merupakan korporasi HTI. Ketujuh perusahaan tersebut, yaitu PT Sumatera Riang Lestari (SRL), PT Marita Makmur Jaya (MMJ), PT Panca Citra Rupat (PCR), PT Sarpindo Graha Sawit Tani (SGST), PT Bina Rupat Sepang Lestari (BRSL), PT Sumber Mutiara Indah Perdana (SMIP) dan Perusahaan yang belum diketahui namanya (X). Empat perusahaan pertama (PT SRL. PT MMJ, PT SGST dan PT PCR) telah beroperasi produksi, sedangkan PT BRSL dan PT SMIP belum melakukan aktivitas di lokasi tersebut. PT X juga sebenarnya telah melakukan aktivitas tanam, namun belum diketahui legalitas perizinannya.
“Jumlah total luas perizinan yang berada di pulau tersebut setara dengan 61,7% daratan Pulau Rupat. Apabila luas pulau Rupat dikurangi dengan jumlah penguasaan ruang investasi kemudian hasilnya dibagi dengan jumlah penduduk, maka rata-rata penduduk hanya dapat memiliki 1,2 ha per orang,” ungkap Boy.
Selain masalah ketimpangan penguasaan ruang, ragam cerita lainnya adalah kebakaran hutan dan lahan (karhutla), penurunan muka tanah (subsidensi), abrasi hingga konflik agraria yang melingkupi Pulau Rupat akibat keberadaan korporasi ekstraktif.
Di wilayah laut, kegiatan tambang pasir oleh PT Logomas Utama (LMU) telah mengakibatkan kerusakan lingkungan dan ancaman terhadap penghidupan masyarakat. PT LMU merupakan korporasi tambang pasir yang mendapat Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk produksi dengan Nomor SK 503/DPMPTSP/IZIN-ESDM/66 pada 29 Maret 2017.
Walhi menilai, pemberian IUP pada 2017 tersebut sebenarnya bermasalah. AMDAL PT LMU bernomor: 2940/28/SJN.T/1998 dikeluarkan pada tanggal 19 Agustus 1998. Namun, pada saat PT LMU mengajukan kembali IUP pada 2017, AMDAL tersebut tidak diperbarui.
Pasal 24 angka (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1999 menyatakan, “Keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan dinyatakan kadaluwarsa atas kekuatan Peraturan Pemerintah ini, apabila rencana usaha dan/atau kegiatan tidak dilaksanakan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak ditertibkannya keputusan kelayakan tersebut”.
“Merujuk aturan tersebut maka AMDAL PT LMU seharusnya dinyatakan kadaluarsa. Meskipun telah mengantongi IUP sejak 2017, aktivitas produksi perusahaan baru dijalankan pada akhir 2021,” terang Boy.
Menurut Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Azlaini Agus, ada sekitar 11 perusahaan yang memiliki izin tambang di pesisir Pulau Rupat.
“Tahun 1998, saya pernah menuntut moratorium perizinan tambang pasir di pulau kecil ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap tambang pasir di Pulau Karimun. Moratorium keluar dan sampai sekarang belum dicabut. Tapi kenapa tiba-tiba tahun 2017 pemerintah mengeluarkan izin untuk Logomas Utama?” ucap mantan komisioner Ombudsman RI ini.
Wilayah konsesi perusahaan berlokasi di pesisir utara Desa Titi Akar, Suka Damai, dan Tanjung Medang dengan luas mencapai 5.030 ha. Dalam dokumen profil perusahaan, disebutkan eksploitasi tambang pasir di perairan laut Pulau Rupat dilakukan untuk kebutuhan pembuatan kaca, pengecoran logam, produksi logam, konstruksi, keramik, filtrasi, produksi air, hingga penimbunan dan pelebaran jalan.
Aktivitas penambangan pasir PT LMU merusak biota laut, terumbu karang, habitat dugong, dan menimbulkan abrasi yang dapat membuat Pulau Beting Aceh, Pulau Babi dan seluruh Pulau Rupat Utara terancam tenggelam. Penambangan pasir laut di perairan Pulau Rupat juga telah merusak destinasi pariwisata andalan Provinsi Riau yakni Pantai Beting Aceh, Pulau Babi, serta Pantai Rupat Utara.
Hasil investigasi WALHI Riau menemukan adanya penolakan masyarakat atas keberadaan korporasi tersebut, khususnya nelayan Desa Suka Damai. Para nelayan mengeluhkan hasil tangkapan yang berkurang sejak hadirnya perusahaa.
”Sebelum tambang beraktifitas pendapatan masyarakat melaut Rp500.000 – Rp600.000 sekali melaut, setelah adanya aktifitas tambang, pendapatan kami kurang dari Rp100.000,” tutur salah seorang nelayan Desa Suka Damai.
Dari olah data spasial, Walhi Riau juga menemukan potensi gangguan aktivitas penambangan pasir tersebut terhadap aktivitas nelayan dari Kota Dumai dan Kabupaten Rokan Hilir.
Bertentangan
Dalam lembar fakta Walhi Riau dijelaskan, aktivitas kebun kayu (HTI), perkebunan kelapa sawit, dan tambang pasir merupakan aktivitas yang tidak diperkenankan ada di pulau kecil. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Huruf I, Undang Undang Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K); “Setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya”.
Selain itu, Pasal 23 Ayat (2) UU WP3K juga menentukan seharusnya pulau kecil diprioritaskan untuk aktivitas konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan; dan/atau pertahanan dan keamanan negara. Ketentuan ini sama sekali tidak menyebut aktivitas perkebunan kayu (HTI) dan kebun kelapa sawit sebagai aktivitas yang diprioritaskan. Bahkan kedua aktivitas ini bertentangan dengan aspek kelestarian yang ditentukan Pasal 23 Ayat (3) Huruf b UU WP3K.
Tidak hanya bertentangan dengan UU WP3K, tambang pasir dan berbagai perizinan di Pulau Rupat juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010. Putusan tersebut memberi 4 (empat) tolak ukur frasa “sebesar-besarnya” untuk kemakmuran rakyat dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam di kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, sebagaimana yang tertera dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu 1) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; 2) tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; 3) tingkat partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta; 4) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Atas dasar itu, MK menyebutkan empat hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai berikut: 1) hak untuk mengakses dan melintas laut; 2) hak untuk mendapatkan perairan yang bersih dan sehat; 3) hak untuk mendapatkan manfaat dari sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. 4) hak untuk menjalankan adat istiadat dalam mengelola sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Terkait fakta tersebut, Walhi Riau merekomendasikan agar Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Menteri Pertanian, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, Gubernur Riau, dan Bupati Bengkalis melakukan evaluasi perizinan terhadap seluruh aktivitas korporasi yang berada di daratan Pulau Rupat berdasarkan aspek sosial serta daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di ekosistem Pulau Rupat. Evaluasi ini harus bermuara pada penciutan hingga pencabutan perizinan. Kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Gubernur Riau diharapkan melakukan evaluasi perizinan berdasarkan aspek sosial dan ekologis yang bermuara pada pencabutan IUP PT LMU. Lalu Menteri LHK, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, dan Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan Pulau Rupat dan ekosistemnya sebagai kawasan lindung berbasis masyarakat lokal melalui akselerasi kebijakan Perhutanan Sosial, Tanah Objek Reforma Agraria, dan pengakuan wilayah tangkap nelayan tradisional.
“Kita akan menyurati pemerintah dan akan melampirkan lembar fakta ini,” tegas Azlaini.