AULA Kantor Desa Bukit Raya, Rabu (27/9/2023) siang, terlihat agak ramai dari biasanya. Satu per satu warga desa berdatangan untuk bersama memperjuangkan hak mereka. Hari itu merupakan agenda pertemuan masyarakat Desa Bukit Raya, Kecamatan Singingi Hilir, Kuantan Singingi dengan perwakilan perusahaan PT RAPP.
Tak berapa lama, pertemuan dibuka oleh Kepala Desa Bukit Raya, Rasiman. Pertemuan antar para pihak tersebut bukan kali pertama. Karena perasaan khawatir masyarakat atas pemasangan patok tapal batas oleh PT RAPP sepekan sebelumnya, akhirnya pertemuan itu pun digelar. Rasiman berharap mediasi kali ini menjadi pertemuan terakhir permasalahan tumpang tindih tapal batas lahan.
“Kita ingin ini adalah pertemuan terakhir dengan PT RAPP terkait dengan persoalan tapal batas ini,” kata Rasiman.
Stakeholder Relations (SHR) Manager Kampar-Kuansing PT RAPP, Elwan pada kesempatan itu menyampaikan peremintaan maaf mereka kepada warga Desa Bukit Raya atas pemasangan patok di kebun milik masyarakat.
“Kami mohon maaf atas timbulnya permasalahan ini,” kata Elwan saat mediasi dengan masyarakat di Aula Kantor Desa Bukit Raya.
Lahan yang dikelola masyarakat sudah diberikan pemerintah sejak ada program transmigrasi tahun 1985 silam. Namun di kemudian hari, sebagian wilayah tersebut masuk menjadi area konsesi PT RAPP.
“Dari awal kita sama-sama tahu, sama-sama ngerti bahwa RAPP masuk ke wilayah kami. RAPP juga sadar itu, makanya tapal batas parit gajah itu dipertegas. Selain tapal batas, itu juga memastikan tidak ada masyarakat Bukit Raya yang lompat dari wilayahnya masing-masing,” kata Kepala Desa.
Permasalahan tersebut seharusnya sudah selesai saat pertemuan antara masyarakat dengan pihak PT RAPP di tahun 2018. Dimana PT RAPP berjanji akan menindaklanjuti persoalan ke mamajemen yang mengurus perizinan, sehingga dapat dilepaskan dari kawasan konsesi.
“Sampai sekarang kita tunggu surat itu, agar tidak ada lagi pematokan. Karena pada tahun 2018, semua keinginan kita sudah disetujui RAPP. Bahkan kita dijanjikan, pemerintah dan masyarakat Desa Bukit Raya duduk diam, nanti mereka akan disampaikan ke manajemen dan bagaimana hasilnya akan disampaikan kepada masyarakat,” Rasiman menjelaskan.
Namun masyarakat kembali terkejut dan takut lantaran pemegang konsesi kembali memasang patok di kawasan kebun mereka. Padahal, pada pertemuan sebelumnya sudah disepakati bahwa wilayah tersebut sudah akan dikeluarkan dari kawasan izin konsesi HTI PT RAPP.
SHR Manager Kampar – Kuansing, Elwan menjelaskan bahwa pemasangan patok tersebut merupakan instruksi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Kami lakukan karena memang tanggung jawab kami atas permintaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Berdasarkan surat yang dilayangkan kepada kami, kami diminta untuk melakukan rekonstruksi batas konsesi PT RAPP,” terang Elwan.
Elwan juga menyampaikan permintaan maaf, lantaran tidak ada komunikasi dari pihaknya kepada masyarakat atas pemasangan patok tersebut.
“Teman-teman yang di area, mungkin lupa mengkomunikasikan kepada perangkat desa ataupun masyarakat. Ini yang miss yang kita lakukan. Kita meminta maaf karena tidak ada komunikasi. Di satu sisi RAPP mengikuti peraturan pemerintah, di satu sisi kita juga tidak mengabaikan hak masyarakat di sini,” imbuhnya.
Sekretaris Desa (Sekdes) Bukita Raya, Ayyub Abdul Jabar menyayangkan hal itu. Menurutnya, apa yag dilakukan tersebut tidak sesuai dengan poin kesepakatan di tahun 2018, yang mana pihak PT RAPP berjanji akan melepaskan wilayah yang tumpang tindih dengan kebun masyarakat tersebut.
“Kalau disebut nanti akan dikomunikasikan, seolah seperti nanti akan ada lagi pemasangan patok seperti itu. Kita kan ada kesepakatan, apakah RAPP tidak bisa menyampaikan ke pemerintah bahwa kita sudah ada kesepakatan? Apakah bisa dilepaskan saja? Apakah harus pihak desa atau masyarakat yang menyampaikan?” ujar Ayyub.
Salah satu poin kesepakatan 2018 yang dibacakan Ayyub saat pertemuan tersebut adalah, pihak PT RAPP akan mengadakan pertemuan berikutnya dengan menghadirkan pihak-pihak yang dapat memfasilitasi dan dapat membuat keputusan perihal penetapan PAL batas.
“Keinginan kami tidak muluk-muluk, cuma ingin nyaman dengan lahan yang sudah diberikan pemerintah. Terkait izin, kami tidak tahu itu tumpang tindihnya dengan siapa, masyarakat kami tahunya itu punya mereka atas dasar sertifikat hak milik,” imbuh Ayyub.
Rudi, salah seorang warga Desa Bukit Raya yang lahan perkebunannya dipasangi patok oleh PT RAPP juga menyampaikan keluhannya. Pasalnya, ia sudah menjadi transmigran sejak tahun 1985, jauh sebelum PT RAPP masuk ke kawasan tersebut.
“Saya transmigrasi ke sini tahun 1985. Duluan siapa, transmigran atau RAPP? Tiba-tiba saja RAPP bikin parit gajah,” ujar Rudi.
Transmigran lain, Agus mengungkap bahwa masyarakat sudah mengalah saat PT RAPP membuat parit gajah yang membatasi area konsesi dengan kebun masyarakat pada tahun 2005.
“Tahun 2005 dibuat parit gajah yang bukan parit pengaman tanaman. Walaupun ada tanaman masyarakat di seberang tapal batas, semua dibabat. Kami relakan hal tersebut karena memang sudah di luar tapal batas. Kami tidak terima itu sebagai parit pengaman tanaman,” kata Agus.
Agus mengaskan bahwa masyarakat yang mengelola lahan perkebunan sudah memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diberikan pemerintah saat melakukan transmigrasi pada 1985-1986 lalu.
“Kami tetap bertahan karena kami transmigrasi yang lahannya sudah disiapkan oleh pemerintah sebelum kami datang. Saya mohon ini pematokan terakhir. Saya takut ada warga yang marah karena lahannya kena patok. Bisa terjadi perselisihan di sana,” imbuhnya.
Wanprestasi
Widya Astuti, Direktur Yayasan Hutanriau yang menjadi fasilitator pertemuan masyarakat dengan PT RAPP menilai ada tindakan wanprestasi yang dilakukan PT RAP,P lantaran telah melanggar kesepakatan bersama di tahun 2018.
Hutanriau melihat ada sebuah wanprestasi yang sudah RAPP lakukan, karena sudah ada kesepakatan di 2018 yang dilanggar. Apakah karena lupa, masa pandemi Covid-19 atau pergantian manajemen, yang jelas kesepakatan sudah dilanggar. Pada waktu itu sudah jelas permintaan masyarakat tidak muluk-muluk.
“Itu tanah mereka. Sebelumnya juga sudah ada janji dari PT RAPP akan memproses dengan menyurati pihak kementerian. Kita tidak tahu sudah sampai dimana. Masyarakat menganggap jika RAPP akan melakukan sesuatu di lahan mereka paling tidak permisi, minta izin. Itu telah disepakati,” terang Widya.
Widya menyayangkan sikap perusahaan yang dinilai menyepelekan kerugian psikis masyarakat yang ketakutan ketika lahannya dipasang patok tapal batas oleh PT RAPP.
“Kita tidak bisa menyepelekan kerugian psikis yang dialami masyarakat. Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa kerugian psikis lebih banyak daripada kerugian materil. Bapak ibu dari RAPP harusnya minta maaf, bukan hanya kepada Pak Kades tapi juga kepada masyarakat yang tidak bisa tidur gara-gara patok itu,” imbuh Widya.
Melki Rumania yang juga dari Yayasan Hutanriau mengungkapkan, adanya tumpang tindih penguasaan lahan bisa terjadi lantaran pemerintah saat itu belum menggunakan satu data.
“Mungkin waktu itu pemerintah kita belum menggunakan satu data. Jauh sebelumnya, wilayah yang kita bicarakan sekarang ini sudah dikuasai oleh masyarakat. Harusnya setelah izin HTI itu keluar, ada proses penataan batas. Pada proses itu harusnya wilayah yang sudah dikuasai masyarakat di-enclave atau dikeluarkan. Ternyata kita lihat itu tidak terjadi,” terang Melki.
Sampai saat ini, wilayah yang dipermasalahkan tersebut tidak pernah dikuasai oleh RAPP. Wilayah yang dikuasai masyarakat ada 50 persil, sebagian besar SHM dan ada yang SKGR. “Kekuatan tertinggi di negara kita itu ya SHM,” ucap Melki.
Wilayah konsesi bisa dilakukan rekonstrusi untuk mengeluarkan wilayah yang dikelola masyarakat dari area izin konsesi.
“Penyelesaian masalah izin, sebenarnya bisa dilakukan. Tinggal mau atau tidak,” imbuhnya.
Pertemuan yang hampir berakhir ricuh tersebut akhirnya menemukan kesepakatan dengan kembali pada perjanjian tahun 2018 lalu. SHR Manager Kampar-Kuansing, Elwan menegaskan, pihaknya tidak akan menambahkan atau mengurangi poin perjanjian yang sudah disepakatai tahun 2018 tersebut.
“Kami hanya meluruskan, bukan untuk menambah atau mengurangi perjanjian. Kita tidak akan lari dari perjanjian 2018. Kita sepakat di 2018, kami hanya menyampaikan persoalan terkait tapal batas. Kita akan kembalikan lagi ke 2018. Kami tidak akan mengangkangi kesepakatan, apapun bentuknya,” tegasnya.
Kepada Bentala, Elwan juga memastikan hasil pertemuan ini akan disampaikan kepada pihak manajemen.
“Di dalam kesepakatan itu ada masalah perizinan. Nanti ada tim kita yang akan menindaklanjuti. Kita kembalikan ke kesepakatan 2018. Saya akan komunikasikan ke manajemen. Saya adalah Humas. Untuk pelaporan ada bagiannya. Tapi saya akan komunikasikan dengan manajemen,” tandasnya.
Laporan: Anggun Alifah
Editor: WD Utami