Ratusan pohon jeruk tampak tumbuh subur di hamparan seluas 5 hektare (ha). Ditanam rapi dengan jarak 5×6 meter persegi memudahkan mata saat mengamati pohon demi pohon.
Sebuah jalan setapak membelah hamparan kebun yang sedikit berkontur tersebut. Di kanan jalan, buah jeruk terlihat lumayan lebat bergelayutan di ujung dahan. Dan di kiri jalan, hanya ada beberapa jeruk saja terlihat mengintip dari rimbun dedaunannya.
Perkebunan jeruk tersebut, berada bersebelahan dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Desa Lubuk Kembang Bunga, Kecamatan Ukui, Kabupaten Pelalawan. Letaknya terkurung ribuan pohon sawit dan hutan konservasi. Jaraknya hanya beberapa menit berkendara roda dua dari Kantor Seksi I TNTN.

Abdurrahman (61 tahun) adalah pemilik kebun jeruk yang sudah berbuah lebat itu. Sedangkan jeruk yang sedang belajar berbuah adalah milik pasangan muda Anton dan Mariati. Usia jeruknya baru 2 tahun. Pasangan ini terinspirasi dari keberhasilan Abdurrahman berkebun jeruk.
Dari 3 ha kebun miliknya, Abdurrahman sudah berhasil membangun rumah wallet dan membiayai kuliah putra-putrinya. Ia bersama istri merintis perkebunan jeruk manis sejak tahun 2014. Bukan tanpa alasan ia memilih tanaman jeruk. Jeruk adalah jenis tanaman yang tidak disukai gajah liar. Lantaran lahannya berada di daerah lintasan gajah sumatera, mau tak mau Abdurrahman harus menanam tanaman yang tidak disukai gajah.
Sebelumnya, Rahman, begitu ia biasa disapa, menanami tanah yang dia beli tahun 1997 itu dengan tanaman sawit sebagaimana lazimnya diusahakan masyarakat di kampung tersebut. Namun tanaman sawitnya itu tidak pernah bisa hidup dan tumbuh dengan baik karena gangguan gajah. Alhasil, bukan keuntungan yang ia peroleh tetapi malah buntung. Kerja kerasnya membuka kebun dengan alat sederhana menjadi sia-sia. Gajah sering masuk ke kebun mencabut dan memakan tanaman sawit milik Rahman.
“Setelah gagal bertanam sawit di tahun 2008, kemudian saya mencoba menanam jeruk. Untuk tahap awal saya menanam di lahan seluas 2 hektare (ha). Syukur Alhamdulillah, tanaman saya tumbuh subur tidak pernah diganggu gajah. Ternyata gajah tidak suka dengan tanaman jeruk. Kalaupun ada kelompok gajah masuk ke kebun, mereka tidak merusaknya,” kata Rahman yang kini sudah memiliki 3 ha kebun jeruk.
TNTN adalah salah satu kantong gajah dan tempat konservasi gajah sumatera di Riau. Agar lahan pertanian atau perkebunan masyarakat aman dari hewan tambun tersebut, masyarakat harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan, seperti yang dilakukan Rahman.

Tidak hanya jeruk, Rahman kini mulai menanam pohon durian yang juga punya nilai ekonomi tinggi. Ia ingin lahannya memiliki berbagai macam tanaman berbeda musim dan jenis. Bahkan ia juga berternak bebek untuk dijual telurnya.
Kini kebunnya tidak hanya didatangi oleh para pedagang jeruk saja, tetapi menjadi tujuan wisata agro. Orang-orang berkunjung ingin melihat kebun jeruk, memetiknya dan menikmatinya langsung dari pohon.
“Kalau ada yang datang ke kebun, mereka boleh makan secara gratis. Tetapi untuk jeruk yang dibawa pulang dari hasil petik sendiri, kami mematoknya dengan harga Rp12.000 per kg,” ucap ayah lima anak ini.
Saat ini Rahman telah memetik hasil dari kerja kerasnya. Sejak dua tahun terakhir, ia sudah mengecap manisnya panen raya. Ada dua kali panen raya dalam setahun, biasanya di pertengahan dan di akhir tahun. Saat panen raya, kebun jeruknya bisa menghasilkan 15 ton jeruk dengan harga jual Rp8000 per kg. Sekali panen raya, Rahman mampu mengumpulkan pundi-pundi rupiah hingga 120 juta rupiah dari 600 pokok jeruknya. Itu belum termasuk panen kecil yang dilakukan setiap dua hari sekali.
“Bagi saya lebih menguntungkan berkebun jeruk daripada kelapa sawit. Hasil yang saya peroleh dari 2 ha kebun jeruk, setara dengan 4 ha kebun sawit,” ungkap Rahman tersenyum.
Dosen Fakutas Pertanian Universitas Riau, Delfi Roza menjelaskan, tanaman buah-buahan adalah tanaman paling ramah lingkungan dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit. Sawit merupakan jenis tanaman yang membutuhkan air banyak dan pupuk. Pada sawit berumur tua dengan tajuk yang sudah menutup, tanah di sekitarnya menjadi sangat padat.
“Kalau tanaman buah-buahan, justru akan memperbaiki tekstur tanah,” jelas Delfi.
Keberhasilan Rahman menanam jeruk menimbulkan minat sejumlah petani di Desa LKB. Awalnya hanya ada 2 ha kebun jeruk di kawasan tersebut, kini berkembang mencapai luas lebih kurang 20 ha kebun jeruk. Rahman tidak hanya menginspirasi bertanam jeruk, tetapi juga pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) solar cell di kalangan petani. Kini sudah 6 pondok yang menggunakan panel surya di kebun.
Bagi Anton dan Mariati, Rahman adalah seorang guru. “Kami belajar menanam jeruk dari Uwak Rahman. Sebelumnya kami tidak tahu apa-apa. Termasuk bagaimana menggunakan energi surya untuk penerangan di pondok. Dulu kami memakai lampu minyak di malam hari,” kata Anton.
Istri Anton bahkan bisa menanak nasi dan menggunakan blender untuk memasak dari tenaga listrik yang dihasilkan panel surya miliknya. Meskipun tinggal jauh dari perkampungan, kebutuhan dasar mereka bisa terpenuhi dengan baik.
Duduk berbincang di balai-balai papan pondok milik pasangan ini, terasa sungguh nyaman meskipun matahari di luar cukup terik. Ditemani jeruk manis yang baru dipetik dari pohonnya, hidup terasa tenang dan damai.
Pondok milik Anton sederhana, serupa dengan pondok kebanyakan di kebun jeruk, berbentuk panggung terbuat dari kayu dan hanya memiliki ruang tamu, dapur dan satu kamar tidur, tanpa perabotan. Meskipun sederhana, Anton senang tinggal di sana. Tidak kesulitan listrik dan bisa memantau kebun kapan saja dia mau.
Walaupun pohon jeruk miliknya masih belum berbuah banyak, namun sudah menghasilkan. Ia memenuhi pesanan beberapa temannya di kantor. Anton yang berkerja sebagai supir sebuah perusahaan, cukup sering menerima pesanan dan membawa hasil kebun ketika berangkat bekerja.
“Pohon jeruk kami sedang belajar berbuah. Buahnya masih sedikit dan belum semua pohon. Kalau ada yang berbuah cukup matang, saya petik dan besoknya saya bawa kerja. Saya jual ke teman-teman,” terang ayah satu anak ini.*