SAAT senja mulai menggantung di cakrawala, kala ternak-ternak mulai digiring ke kandang, bohlam lampu di bawah atap teras rumah di pinggir jalan setapak Desa Batu Sanggan mulai tampak berkedip. Itu pertanda aliran listrik dari turbin di perbukitan Rimbang Baling sudah menyala.
Mengetahui lampu sudah dialiri arus listrik, seorang perempuan separuh baya terlihat bergegas masuk ke dalam rumah untuk memastikan saklar lampu-lampu di ruangan rumahnya berada pada posisi hidup.
“Kalau masih baru hidup, biasanya listrik masih belum stabil. Jadi dia kelip-kelip begini,” perempuan bernama Lina itu menjelaskan.
Lina adalah warga Desa Batu Sanggan atau Kenegerian Batu Sanggan, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau yang wilayahnya berada dalam kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Baling. Luas wilayah adatnya sekitar 7.414 hektare (ha) dengan kondisi fisik wilayah perbukitan dan daratan.
Kenegerian ini sebelah Barat berbatasan dengan wilayah adat Kenegerian Miring dan Kenegerian Gajah Bertalut. Di sisi Timur berbatasan dengan wilayah adat Kenegerian Tanjung Belit. Sedangkan di sebelah Utara berbatasan dengan wilayah adat Kenegerian Koto Lamo dan di Selatan berbatasan dengan wilayah adat Kenegerian Kuntu, Aur Kuning, dan Sei Paku.
Transportasi menuju Batu Sanggan hanya bisa ditempuh menggunakan perahu yang oleh masyarakat setempat disebut Pigau, perahu mesin berbahan bakar solar. Belum ada penerangan listrik PLN di sana.
Sudah pasti sungai memiliki peran penting bagi masyarakat yang berada di dalam kawasan Rimbang Baling. Tidak hanya dimanfaatkan sebagai urat nadi perekonomian masyarakat tetapi juga menjadi sumber energi listrik untuk penerangan kampung.
Sejak tahun 2014, Batu Sanggan sudah tidak gelap gulita di malam hari. Pemerintah Kabupaten Kampar membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) dengan kapasitas 30 kilowatt hour (kwh) di tahun 2008. Lampu sempat menyala sebentar, lalu terjadi kerusakan dan baru diperbaiki pada tahun 2014. Dari total daya 30 kwh, yang dialirkan ke masyarakat sebesar 25 kwh. Listrik tersebut dinikmati oleh 115 rumah, serta sejumlah fasilitas umum seperti kantor desa, jalanan desa, sekolah dan juga Kantor Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Setiap rumah mendapatkan jatah 200 volt ampere (va) dengan iuran perawatan sebesar Rp30.000 per bulan. Iuran tersebut dikelola BUMDes Batu Sanggan.
Ketersediaan listrik di desa tersebut sangat tergantung dari ketersediaan air sungai Ciak Sanggan, anak Sungai Subayang. Saat musim panas dengan curah hujan yang sangat sedikit, debit air sungai berkurang. Alhasil masyarakat harus menerima kondisi minim listrik.
“Saat musim panas, desa kami hanya dialiri listrik dari pukul 17.00 WIB sampai tengah malam saja. Lain kalau musim hujan, bisa seminggu tak ada mati listriknya,” ungkap Lina.
Desa di jantung hutan tersebut memiliki penerangan yang cukup, meski sesekali lampu-lampu berkedip, akibat arus listrik yang tidak stabil.
Ketua Pengurus PLTMh Batu Sanggan. Marhalim menyebut, saat musim kemarau seperti saat ini, debit air sungai tidak mencukupi untuk menerangi seluruh desa sepanjang malam.
“Kondisinya sangat buruk karena airnya sudah sangat dangkal. Kalau kondisi airnya seperti itu, tentu lampunya tak bagus. Air kering sudah lebih dari satu bulan. Jadi, listrik hidup dari pukul 17.30 sampai 00.00 WIB,” terang Marhalim saat ditemui di Desa Batu Sangan, Rabu (18/10/2023).
Namun, kondisi ini tidak berlangsung sepanjang tahun. Saat musim hujan tiba dan debit air Sungai Ciak Sanggan yang mengisi bendungan PLTMh mulai tinggi, turbin yang menyalakan listrik di seluruh desa bisa menyala selama sepekan penuh.
“Kalau musim hujan bisa satu minggu full, dimatikan sebentar untuk istirahatkan turbin saja,” kata Marhalim.
Iurannya yang diberikan masyarakat, dipergunakan untuk membayar honor operator dan perawatan. Meskipun ada dana perawatan dari pemerintah, namun menurut Marhalim itu belum cukup.
Lokasi Turbin
Setiap hari, Marhalim harus menyambangi turbin dan bendungan yang lokasinya jauh dari pemukiman. Selain untuk melakukan sejumlah perawatan ringan, juga untuk menyalakan dan mematikan aliran listrik.
Dari rumah, ia bersama seorang teman menyusuri sungai dengan menggunakan pighau, perahu bermesin ke arah hulu selama lebih kurang sepuluh menit. Sesampainya di muara sungai Ciak Songgan, Marhalim menerobos rimba ke arah hulu sungai menuju bendungan. Jalannya seperti jalur pendakian yang di kiri kanannya semak belukar. Jalur juga turun naik karena berbukit-bukit.
Setelah membuka pintu air, Marhalim akan menuju turbin untuk menyalakan listrik. Total perjalanan yang harus ditempuh Marhalim dari lokasi turbin hingga kembali ke tempat sampan ditambatkan, lebih kurang satu jam berjalan kaki.
Kondisi medan yang bagi orang awam tidak mudah, harus dilalui pada siang dan malam hari. Saat mematikan listrik di malam hari, Marhalim menggunakan alat bantu senter untuk menerangi jalanan terjal dan curam yang dilalui. Biasanya jalanan akan licin saat hujan tiba. Suara tonggeret dan hewan-hewan liar menjadi teman perjalanan hingga ke waduk.
Tak jarang, Marhalim bertemu dengan satwa-satwa liar seperti beruang dan ular. Menjadi mangsa pacet-pacet sudah biasa bagi dirinya.
Pada tanggal 18 Oktober 2023, Bentalanews menyambangi waduk PLTMh Batu Songgan. Air waduk tidak terlalu dalam dan berlumpur. Rerumputan liar tampak tumbuh di sekitar dinding waduk.
Marhalim bercerita, sumber listrik yang menjadi andalan masyarakat Batu Songgan tersebut kini mulai mengalami kebocoran di sejumlah titik. Diantaranya ada pada bendungan, bak penenang air, serta pipa yang mengalirkan air dari bendungan menuju turbin.
Memang ada sebuah lubang menganga pada bendungan. Tampak air mengalir dari lubang tersebut. Ia berharap pemerintah memperbaiki kebocoran-kebocoran tersebut. Untuk memperbaiki bak penenang dan dam, dibutuhkan sekitar 50 kotak keramik dan 6 sak semen.
Perawatan yang dilakukan terhadap PLTMh hanyalah perawatan minor seperti membersihkan sampah dedaunan yang tersangkut di bak penenang, pemeliharaan alat dalam skala kecil, serta menyalakan dan mematikan aliran listrik.
“Selama ini yang melakukan perawatan adalah pengurusnya. Tapi kadang ada juga gotong royong warga. Terakhir kali tahun 2021, gotong royong semua warga Batu Songgan,” imbuh Marhalim.
Kepala Badan Musyawarah Desa (BPD) Batu Sanggan, Efri Subayang menjelaskan, lokasi tempat bendungan dan turbin PLTMh masih berada di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Namun, Pemerintah Desa Batu Sanggan bersama masyarakat dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kampar tengah memperjuangkan hutan tersebut beralih fungsi menjadi hutan adat.
“Kami menyadari PLTMh ini bergantung pada debit air. Kami masyarakat adat tahu posisi kami punya hutan, di atas bendungan itu yang luasnya sekitar 400 ha. Hutan itu akan kami jadikan hutan adat untuk menjaga debit air. Itu yang sedang kami gagas untuk menjaga keberlanjutan energi ini,” kata Efri di acara Nonton Bareng dan Diskusi Kemandirian Energi di Pekanbaru, Jumat, 20 Oktober 2023.
Efri mengenang bagaimana awal mula PLTMh ini dibangun. Saat itu, warga bahu-membahu membangun PLTMh yang menjadi tumpuan penerangan di desanya. Mulai mengangkut bahan bangunan berupa batu, kayu, besi, hingga semen menuju lokasi yang dijadikan bendungan dan turbin.
Masyarakat harus menggotong semua material itu dengan tangannya, melalui jalan yang terjal dan licin menembus hutan rimba yang masih alami. Usai dibangun di tahun 2008, kondisi PLTMh hanya menyala beberapa bulan saja, setelahnya listrik kembali mati hingga tahun 2014.
“2008-2014 itu tidak jalan, karena meski sudah dibangun tapi belum ada teknisinya. Tahun 2014 baru berjalan, alhamdulillah bisa kami nikmati sampai sekarang,” ujar Efri.
PLTMh yang sudah berdiri selama lima belas tahun ini mulai membutuhkan perawatan dan perbaikan yang cukup signifikan. Hal ini dibenarkan oleh Sekretaris Desa Batu Sanggan, Khairi Adli.
Dirinya berharap, pemerintah dan pihak-pihak dari luar desa mau membantu desanya untuk melakukan perawatan sumber energit terbarukan di desanya.
“PLTMh kami sekarang lumpurnya sudah tebal, bendungan mulai bocor dan pipa mulai lapuk. Harapan kami, pemerintah bisa membantu meningkatkan kapasitas di PLTMh kami ini,” harapnya.
Harapan yang sama juga disampaikan Roni Handri, salah seorang warga asli Batu Sanggan. Menurut Roni, saat ini belum ada warga desa yang bisa melakukan perbaikan jika terjadi kerusakan cukup besar. Jika terjadi kerusakan ringan, para pengurus dan warga akan bahu-membahu memperbaiki sebisanya. Namun, jika kerusakan yang terjadi cukup besar, pihak desa akan mendatangkan teknisi dari kota untuk memperbaikinya.
“Dananya tentu lebih besar kalau kita mendatangkan teknisi dari kota. Transportasi tidak murah, untuk sampan saja sudah berapa,” keluh Roni.
“Bukan hanya pemerintah, tetapi kami juga berharap pihak-pihak lain yang ingin membuka diri untuk memberikan pelatihan masalah teknis seperti mekanik-mekanik untuk PLTMh kita ini. Jadi kalau ada kerusakan-kerusakan, kita tidak menunggu lama, tak nunggu mekanik datang dari kota,” imbuhnya.
Roni juga menjelaskan, iuran yang dibebankan kepada warga, belum bisa menutupi biaya perawatan PLTMh. Kondisi ekonomi masyarakat saat ini, tidak memungkinkan untuk menambah jumlah iuran. Lebih kurang 90 persen masyarakat Desa Batu Sanggan adalah petani karet. Harga 1 kilogram karet saat ini Rp7.000 di desanya. Jika masyarakat menjual ke Desa Gema yang lokasinya lebih ke hilir, dihargai sebesar Rp7.500 saja.
“Masyarakat sebenarnya mau saja menambah iuran, tapi banyak yang tidak mampu,” ungkapnya.
Dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini, Roni berharap agar PLTMh di desanya terus beroperasi dan dirawat. PLTMh adalah sumber energi yang ramah lingkungan dan murah bagi masyarakat.
Sejak tahun 2019, tiang-tiang listrik PLN mulai tampak dibangun di dekat Batu Sanggan. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri masyarakat, termasuk Roni.
“Andaikata PLN masuk ke sini, saya takut PLTMh nanti ditutup, diabaikan. Jangan-jangan nanti ditarik lagi, PLTMh-nya. Sayang sekali, biayanya sangat murah kalau dibandingkan dengan PLN,” kata Roni.
Renewable Energy Portfolio Manager Trend Asia, Beyrra Triasdian mengungkapkan, meski memiliki berbagai persoalan, sumber energi baru terbarukan (EBT) yang ada di Desa Batu Sanggan tersebut sangat membanggakan. Masyarakat bahu-membahu memperjuangkan hingga merawat PLTMh ini untuk hak mendapatkan energi.
“Mereka sangat memperjuangkan kebutuhan hidup mereka. Masyarakat langsung datang ke pusat dan ke daerah untuk meminta diberikan investasi khusus guna mengembangkan energi terbarukan yang mereka bangun bersama-sama,” ujar Beyrra.
Masyarakat tahu bagaimana caranya mengumpulkan uang untuk pemeliharaannya, mereka juga memelihara sendiri dan merawat teknologinya. Mereka mengecek setiap saat, mereka tahu apa yang salah di situ. Dan itu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk masyarakat sendiri,” lajutnya
Apa yang dicontohkan masyarakat Desa Batu Sanggan menjadi harapan untuk membangun optimisme di masyarakat tentang pengengembangan dan penggunaan sumber EBT oleh kelompok masyarakat.
“Masyarakat di daerah yang sangat terpencil mampu dan mau memperjuangkan energi terbarukan. Kenapa di kota-kota besar yang pendidikannya lebih tinggi, fasilitasnya lebih dekat, dari sisi keuangan lebih mapan malah tidak mampu melakukannya?” lanjut Beyrra.
Menurut Beyrra, permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Desa Batu Sanggan tak hanya soal teknis perawatan, tetapi juga regulasi. Dimana desa yang sudah mereka huni turun temurun itu berada di dalam kawasan Suaka Margasatwa sejak Juni 1982. Ada masalah-masalah dari regulasi yang tidak mendukung terkait hal tersebut.
Keberadaan sumber energi yang bersih seperti PLTMh di Batu Sanggan tersebuti bisa direplikasi di wilayah lainnya. Sehingga tidak ada lagi wilayah yang tidak dialiri listrik.
“Harapan paling besarnya adalah ini direplikasi di daerah lain dengan kapasitas yang mungkin lebih baik, yang mampu memberikan hak setiap warga negara yang jauh dan belum terakses listrik sama sekali,” ungkap Beyrra.
Kemandirian energi di Batu Sanggan sudah di-film-kan. Trend Asia membuat film dokumenter berjudul
Energy Sovereignty: Community Based Transformation. Dalam film tersebut tergambar bagaimana masyarakat lokal di empat lokasi mengelola potensi energi yang ada di daerah mereka secara mandiri. Mulai dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh) Batu Sanggan, Riau, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Pesantren Misykat Al-Anwar, Bogor, PLTMh di Kedungrong, Kulon Progo, dan lampu jalan bertenaga bayu dan surya di Blora.
Pada minggu ketiga Oktober kemarin, Trend Asia mengadakan Nonton Bareng (Nobar) dan diskusi Film Energy Sovereignty: Community Based Transformation di Desa Batu Sanggan. Acara yang sama juga digelar di Pekanbaru dua hari setelahnya.
Analis Rencana Umum Energi Daerah Dinas ESDM Provinsi Riau, Zulkifli yang hadir sebagai narasumber saat Nobar dan Diskusi di Pekanbaru menerangkan, sejak tahun 2014 ada pembatasan nomenklatur kewenangan daerah dalam melakukan penganggaran, terutama untuk wilayah-wilayah di dalam kawasan konservasi.
Namun setelah adanya Perpres No. 11 Tahun 2023 Tentang Urusan Pemerintahan Konkuren Tambahan di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Pada Subbidang Energi Baru Terbarukan. revitalisasi infrastruktur EBT menjadi poin penting perhatian Pemerintah Provinsi Riau.
Dengan adanya Perpres itu, Zulkifli berjanji akan mencoba membenahi persoalan yang ada di PLTMh Desa Batu Sanggan.
“Persoalan Batu Sanggan adalah bocor-bocor di damnya. Mungkin nanti, kita akan mencoba untuk memfasilitasi itu. Kita akan mencoba masuk untuk membenahi, apakah dilakukan pemeliharaan dengan tempel-tempel sedikit, atau kita revitalisasi,” ujar Zulkifli.
Potensi EBT di Indonesia, khususnya Riau sangat melimpah, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Tercatat potensi EBT di Riau tahun 2022 sebesar 9.115,92 mw dan persentase pemanfaatannya baru 8,83 persen.
Selain PLTMh di Desa Batu Sanggan, Zulkifli menyebut Provinsi Riau memiliki beberapa PLTMh lainnya.
“Ada di Sungai Santi daerah Kampar Kiri, Simpang Kiri di Rokan Hulu, Kuansing dan juga Indragiri Hulu di daerah Batang Gansal, Bukit Tigapuluh,” tadas Zulkifli.*
Penulis: Anggun Alifah
Infografis: WD Utami
Editor: WD Utami