Pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mempercepat pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC) yang menjadi komitmen setiap negara untuk mencapai masa depan rendah karbon dan berketahanan iklim. Upaya tersebut perlu didukung dengan pengumpulan data dan pembuatan profil iklim aksi daerah yang kuat.
“Pemerintah kota/kabupaten perlu didukung dengan pengumpulan data dan pembuatan profil iklim aksi daerah yang kuat, yang akan membantu pemangku kepentingan pada tingkat daerah untuk mendukung pemerintah nasional mencapai NDC. ICLEI telah bekerjasama dengan mitra membantu pemerintah daerah untuk melaporkan data dan aksi iklimnya,” kata Ari Mochamad selaku Country Manager Yayasan ICLEI Indonesia saat membuka Lokakarya Media dengan bertajuk “Percepatan Pencapaian Target Pembangunan Rendah Karbon dan Berketahanan Iklim”, 7 Desember 2021 di Jakarta.
ICLEI-Local Governments for Sustainability adalah jaringan global, lebih dari 2.500 pemerintah lokal dan daerah yang berkomitmen untuk pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Aktif di lebih dari 125 negara, ICLEI bersama mitra kota mendorong kebijakan keberlanjutan dan aksi lokal untuk pembangunan yang rendah karbon, berbasis alam, adil, berketahanan dan sirkular. ICLEI bekerja sama dengan pemerintah daerah dan tim ahli melalui pertukaran pengetahuan kemitraan dan pengembangan kapasitas untuk menciptakan perubahan sistemik untuk keberlanjutan perkotaan.
Lokakarya yang berlangsung secara daring dan luring itu diselenggarakan agar pemberitaan mengenai krisis iklim, perubahan lingkungan, terobosan yang inovatif, mampu membangun kesadaran kolektif untuk melakukan tindakan. Terutama upaya yang telah dilakukan pemerintah daerah melalui pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim.
Menurut Ratnasari selaku Kepala Seksi Inventarisasi GRK Sektor Energi dan IPPU dari Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring Pelaporan dan Verifikasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ini instrumen pendukung pencapaian NDC dibuat dengan sangat spesifik yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
“Dari hasil (COP 26) Glasgow kemarin, yang dibutuhkan adalah peran subnasional. Ini sangat penting karena sebagai motor penggerak dari isu perubahan iklim. Dukungan kebijakan daerah dan pendanaan sangat penting. Kami yang di pemerintahan nasional mulai mendengarkan dan sangat mengharapkan adanya informasi dari pemerintah daerah, apa kebutuhannya. Implementasi harus disesuaikan dengan kondisi kita, sehingga maksimal untuk mendukung penurunan gas rumah kaca di dunia,” jelas Ratnasari yang memberikan paparan tentang “Kebijakan dan Instrumen Pendukung dalam Pencapaian Target NDC”.
Provinsi Riau
Kebijakan pembangunan rendah karbon Provinsi Riau tertuang dalam konsep pembangunan Riau Hijau, sebuah konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan yang ada dalam Peraturan Gubernur No.9 Tahun 2021.
Saat ini Riau menjadi salah satu provinsi pilot atau percontohan perencanaan pembangunan rendah karbon di Indonesia. Upaya ini dilakukan sinergi dengan kebijakan Riau Hijau yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Riau Tahun 2019-2024.
Ada tiga rencana aksi Riau Hijau Tahun 2020-2024. Aksi pertama meningkatkan pengendalian kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan hidup. Salah satu yang akan dilakukan pada aksi ini adalah pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla). Aksi kedua, meningkatkan kualitas pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dan aksi ketiga, meningkatkan Bauran Energi dari sumber daya energi terbarukan (EBT).
“Di aksi ketiga ini kita mendorong pengembangan EBT di lingkup perkantoran Pemerintah Provinsi Riau maupun industri,” kata Kasubbid Lingkungan Hidup Kehutanan Pertanian Kelautan dan Perikanan Bappedalitbang Provinsi Riau, Rizky Rachmawati, beberapa waktu lalu.
Di Tahun 2014-2015, Provinsi Riau menjadi daerah penyumbang emisi terbesar di Indonesia dari sektor kehutanan. Karhutla yang terjadi cukup luas saat itu hingga menyumbang emisi cukup banyak.
“Riau selalu aktif melaporkan penurunan emisi setiap tahunnya ke Bappenas. Indek emisi GRK ini menjadi salah satu penilaian kinerja gubernur,” lanjutnya.
Capaian penurunan emisi GRK Riau dari aksi mitigasi Tahun 2010-2019 sebesar 204,6 juta ton CO2e. ”Angka tersebut dari hasil upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Riau,” tegas Rizky.
Berikut data status emisi GRK Provinsi Riau Tahun 2013-2020.
Grafik di atas menunjukan nilai emisi GRK Provinsi Riau fluktuatif, cenderung menurun. Tahun 2014 angkanya cukup menonjol karena saat itu terjadi Karhutla cukup besar.
“Angka emisi GRK tertinggi kita ada pada Tahun 2014. Setelah itu ada kecenderungan menurun. Memang sektor kehutanan masih menjadi penyumbang terbesar emisi Riau setiap tahunnya,” jelas Kabid Perubahan Iklim Dinas LHK Provinsi Riau, Setyo Widodo dalam sebuah wawancara Agustus 2021 lalu.
Data Emisi GRK Nasional Tahun 2013-2018
Hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK juga fluktuatif. Terbesar terjadi pada tahun 2015. Setelahnya menurun dan kembali meningkat di tahun 2017 dan 2018. Pada tahun 2020, nilainya turun cukup tajam.
Secara nasional, sektor kehutanan dan kebakaran gambut juga menjadi penyumbang emisi terbesar setiap tahunnya. Dalam rentang waktu 5 tahun terakhir, emisi tertinggi ada di Tahun 2018. Sektor kehutanan dan kebakaran gambut menyumbang 44%, diikuti oleh sektor energi 36%, limbah 8%, pertanian 8%, dan IPPU 4%.
EBT
EBT merupakan sumber energi berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk keperluan bahan bakar pembangkit listrik, industri, komersial, rumah tangga dan penggerak berbagai sarana dan prasarana transportasi. Bagaimana apa kebijakan Provinsi Riau terhadap pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT)?
“Dengan dana APBN 2020, kita sudah membangun 11 titik Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap on grid tanpa baterai di sejumlah gedung milik pemerintahan di Pekanbaru. Termasuk di kantor ini,” kata Kepala Bidang Energi, Energi Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Riau, Zulkarnain, saat ditemui di ruang kerjanya, 13 Agustus 2021.
Bantuan 11 PLTS tersebut antara lain di Kantor Dinas ESDM, Masjid Akramunas Universitas Riau, gedung perpustakaan daerah, kantor gubernur, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Riau, kantor Bappeda, Bapenda, BPKAD, BKD, SMAN 1 dan SMU 8. Kapasitasnya beragam mulai dari 25 KWP hingga 100 KWP.
Panel surya di kantor Dinas ESDM berkapasitas 25 KWP. Harga 1 KWP atau 1000 Watt senilai Rp26 juta. Total biaya untuk 25 KWP mencapai 650 juta rupiah. Masa pemakaianya bisa mencapai 20 tahun tanpa perlu biaya lain. Perawatannya pun hanya berupa pembersihan panel dari debu dan kotoran.
Energi listrik yang dihasilkan tersebut, digunakan Dinas ESDM Riau untuk kebutuhan listrik pada siang hari. “Dari tagihan 14 juta rupiah setiap bulan, saat ini kita hanya membayar 8 juta rupiah saja. Berarti bisa berhemat sekitar 40 persen,” terang Zulkarnain.
“Di APBD Tahun 2021, kita telah menganggarkan pemasangan 3 titik lagi, yaitu di Kantor DPRD Riau, kediaman gubernur dan Rumah Sakit Petala Bumi,” lanjutnya.
Agar lebih banyak lagi yang menggunakan energi bersih, pemerintah Provinsi Riau telah memberi imbauan agar setiap gedung pemerintahan dan swasta menggunakan PLTS atap.*