JAKARTA – Mengurangi aktivitas yang merusak lahan gambut dan mangrove di Raja Ampat, Papua Barat ternyata telah mampu menghasilkan pemasukan lebih kurang USD 155 juta. Lewat pendekatan provinsi berkelanjutan yang dilakukan, ternyata memiliki dampak positif terhadap perekonomian daerah.
“Capaian dari Raja Ampat menginspirasi pemerintah Papua Barat, sehingga mereça mendeklarasikan sebagai provinsi berkelanjutan. Hal ini ditandai dengan hadirnya Perda khusus,” kata Vice President Program Konservasi Indonesia, Fitri Hasibuan pada diskusi bertajuk “Menakar Potensi Ekonomi Kawasan Konservasi” di acara Greenpress Community 2024 yang diadakan di Mblok, Jakarta Selatan, Sabtu (23/11).
Lembaganya sudah sejak lama mendampingi pemerintah Papua dan masyarakat adat untuk melakukan kerja-kerja konservasi. Salah satunya di Raja Ampat.
Bukan berarti tidak ada pembangunan di kawasan konservasi, namun pembangunan didesain dengan prinsip kehati-hatian. Hal itu didukung dengan kegiatan turisme dan agroforestry.
Fitri menjelaskan, untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan, dibutuhkan estimasi biaya sebesar USD 72 juta. Biaya tersebut digunakan untuk kegiatan transisi agroforestri, perhutanan sosial, pariwisata dan kebutuhan lainnya
“Kami melihat USD 72 juta itu tidak harus bergantung pada pemerintah,” katanyanya.
Pertumbuhan homestay di Raja Ampat saat ini cukup pesat. Dari 50 kepala keluarga (KK), 15 diantaranya sudah memiliki homestay dengan kapasitas 3 hingga 7 kamar. Masing-masing kamar disewa dengan harga Rp550,000 per malam.
“Kita bisa melihat bahwa pelestarian alam tidak mematikan ekonomi masyarakat. Yang terjadi justru sebaliknya memunculkan sumber-sumber ekonomi baru yang menguntungkan,” ungkap Fitri.
Perwakilan Direktorat Pengelolaan Kawasan Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Dian Risdianto mengungkapkan, dasar pengelolaan kawasan konservasi merujuk pada mandat penunjukkan kawasan konservasi yang ditandai dengan keluarnya SK Menteri. Kegiatan konservasi terdiri dari kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan konservasi.
“Pengelolaan kawasan konservasi ada yang dilakukan oleh KLHK dan ada pula oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” kata Dian.
Yang dikelola KLHK meliputi kawasan suaka alam (cagar alam, suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam), taman hutan raya (Tahura) dan taman buru.
“Semua dikelola pusat kecuali Tahura,” ujarnya.
Saat ini terdapat 564 unit kawasan konservasi dengan luas mencapai 27,14 juta hektare. Untuk taman nasional sebanyak 55 Unit. Prinsip pengelolaannya, perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan.
“Pemanfaatan misalnya untuk air, wisata alam dan panas bumi. Ada juga kawasan strategis nasional,” kata Dian.
Pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan konservasi dilakukan dengan membuat perencanaan meliputi rencana pengelolaan, zonasi/bloking dan prakondisi pemanfaatan jasa di kontrak kerja.
“Khusus pengelolaan panas bumi di Kerinci Seblat, seharusnya memperhatikan zona pemanfaatan dengan memperhatikan habitat harimau di sana,” terangnya.
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pemanfaatan Konservasi Hutan, Herri B Putra menuturkan, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumber daya maritim melimpah. Letaknya strategis dan memiliki populasi terbesar keempat di dunia.
Pendekatan komprehensif dalam mengelola konservasi sumber daya kelautan dan perikanan serta proyek restorasi terumbu karang telah dilakukan Indonesia. Termasuk peluncuran Ocean Accounts.
Ocean Accounts atau lebih dikenal dengan Neraca Sumber Daya Laut (NSDL) adalah alat ukur aset sumber daya laut suatu negara. Program ini mengelola data yang menjelaskan aset sumber daya laut, interaksi, serta perubahan yang terjadi di suatu wilayah dari waktu ke waktu.
“Ocean Accounts adalah informasi terstruktur dalam bentuk peta, data statistik dan indikator terkait kelautan, perikanan, lingkungan pesisir, termasuk kondisi sosial. Datanya bisa kita lihat per tahun. Ini bisa menjadi acuan untuk penyesuaian regulasi sesuai pemanfaatannya,” jelas Herri.
Khusus pengelolaan wilayah laut terdiri dari dua ruang lingkup, yakni pengelolaan oleh pemerintah pusat melalui KKP dan pemerintah daerah (provinsi) melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Saat ini ada 117 kawasan konservasi, 11 dikelola langsung pemerintah pusat dan 106 itu dikelola provinsi,” terangnya.
Terdapat 6 pilot project terkait ocean accounts. Salah satunya ada di Gili Trawangan, Lombok dan Kepulauan Anambas, Kepri. Jika masyarakatnya sudah dilibatkan dalam pengelolaan kawasan laut, maka perlu ada pertimbangan sosial ekonomi.
“Kami memanage kawasan dan mencoba menyadarkan kawasan tersebut. GDP Kelautan Kawasan Konservasi Kepulauan Anambas telah berhasil menghasilkan Rp1,136 juta Triliun,” tandas Herri. (Rls)