MASYARAKAT adat memiliki pengetahuan dan praktik tradisional dalam mengelola sumber daya alam (SDA) berkelanjutan. Kearifan lokal yang melekat pada tradisi dan budaya, terbukti mampu menjaga kelestarian lingkungan di wilayah adat. Bagi mereka, hutan, sungai dan satwa merupakan sumber kehidupan yang harus selalu dijaga hingga ke anak cucu.
Hari ini masyarakat adat mulai menghadapi banyak persoalan dan tantangan dalam mengamankan hak dan menjaga keberlangsungan kehidupan tradisional mereka. Wilayah adat terusik berbagai persoalan lingkungan seperti deforestasi, izin konsesi, pembangunan infrastruktur dan lain sebagainya.
Pendekatan stok karbon tinggi (SKT) dan nilai konservasi tinggi (NKT) menjadi alat pragmatis dalam perencanaan penggunaan lahan. Ada metodologi yang digunakan untuk menerapkan konsep nihil deforestasi.
Hal itu juga melatarbelakangi lembaga-lembaga internasional (IUCN, WPC, dan CBD) untuk membuat instrumen yang menghormati hak-hak masyarakat lokal dan memastikan masyarakat lokal berpartisipasi penuh dalam perencanaan pemanfaatan lahan.
Konsep SKT dan NKT digunakan sebagai “perisai” untuk menangkis kritik global pada Perusahaan sawit ataupun pulp & paper di Indonesia.
Dalam studi penyaringan stok karbon tinggi dan nilai konservasi tinggi yang dilakukan Perkumpulan Bahtera Alam di dua desa masyarakat adat, yaitu Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Bathin Solapan dan Kampung Adat Suku Asli Anak Rawa Penyengat, ditemukan bahwa dua desa tersebut masih memiliki nilai konservasi tinggi. Namun SKT atau NKT sebagai upaya melindungi nilai keanekaragaman hayati, tidak memperhatikan hak-hak penduduk lokal ataupun komunitas adat.
“Kebijakan yang ada saat ini, sebagian mendukung implementasi SKT atau NKT, namun terdapat peraturan yang justru menghambat pelaksanaannya, seperti UU No. 39/2014 tentang Perkebunan, PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar,” kata Direktur Bahtera Alam, Harry Oktavian.
SKT dan NKT, kata Harry, penting dilakukan untuk melindungi wilayah bernilai konservasi di kawasan kritis. Keduanya juga digunakan untuk meminimalisir dampak-dampak ekologi dan sosial yang negatif dalam pembangunan di sektor kehutanan, perkebunan, tambang, dan lain sebagainya.
Nilai konservasi tinggi adalah sebuah pendekatan untuk mengkaji nilai keanekaragaman hayati yang masuk dalam NKT 1, ekosistem di tingkat lanskap (NKT 2), ekosistem atau habitat langka dan terancam (NKT 3), jasa lingkungan penting (NKT 4), kebutuhan masyarakat tempatan (NKT 5) dan peninggalan budaya yang terdapat di suatu lanskap.
NKT lanskap dapat diterapkan di tingkat propinsi dan kabupaten sebagai bagian dari Kajian lingkungan Hidup Strategies (KLHS), identifikasi Kawasan Ekosistem Esensial (KEE) dan dapat menjadi komponen kajian policy, program and planning (P3).
Desa Kesumbo Ampai dan Kampung Adat Suku Asli Anak Rawa Penyengat memiliki potensi sumber daya alam yang masih terjaga meskipun terjadi penurunan kualitas.
Desa Kesumbo Ampai yang didiami oleh suku Sakai Bathin Sobanga berada di Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis. Desa ini merupakan bagian dari kelompok suku Sakai 13 perbatinan. Wilayah adatnya seluas 143.000 ha, dengan hutan adat mencapai luas 207 ha.
Sedangkan Kampung Adat Suku Asli Anak Rawa Penyengat merupakan rumah dari suku Asli Anak Rawa (Melayu Tua). Wilayah adat suku Asli Anak Rawa Penyengat ini luasnya mencapai 150.271,719 ha (hasil pemantauan tahun 2011), dengan luas hutan adat 18.000 ha.
Desa Kesumbo Ampai memiliki keanekaragaman hayati yang kaya. Terdapat 6 jenis flora langka diantaranya kempas, ramin, resak, laban sadang, seminai dan kulim.
Hutan adatnya Imbo Ayo menjadi tempat hidup 20 satwa dan binatang langka, seperti harimau sumatera, rangkong, murai batu, binturong, beruang madu, tapir, trenggiling, lutung, siamang, pelanduk, rusa, binturong, sampidan, ungko, ayam hutan, burung tuing, landak jawa, kucing hutan, punai dan burung Kesumbo.
Untuk NKT 4, atau area ekosistem dasar, mereka memiliki daerah aliran Sungai yang kondisinya mulai kritis. Sungai Batang Penyongek yang airnya berasal dari sumber mata air di tengah hutan adat, kualitas dan debit air tidak sebagus dulu.
“Sungai Batang Penyongek berfungsi sebagai sumber air utama oleh masyarakat dan tempat menangkap ikan,” kata Marzuki, staf lapangan Bahtera Alam.
Keanekaragaman serupa juga ditemukan di wilayah Kampung Adat Suku Asli Anak Rawa Penyengat. Temuan NKT 1 dan 3 yang telah didata oleh tim Bahtera Alam meliputi lima jenis flora dan 12 jenis fauna langka dan jarang ditemui.
“Ada lima jenis flora temuan NKT 1 dan 3 di hutan adat suku Asli Anak Rawa, diantaranya ramin, kempas, resak, labang sadang dan selumar,” ungkap Marzuki.
Fauna yang ditemukan di kawasan ini diantaranya harimau sumatera, beruang madu, rangkong, murai batu, trenggiling, kukang, lutung, siamang, pelanduk, kancil, rusa, dan binturong.
“Seekor harimau sumatera pernah terekam kamera CCTV pemukiman masyarakat di Senobok, Dusun Mungkal, Kampung Penyengat pada 10 Maret 2024 lalu,” kata Hasri, Kepala Divisi Kolaborasi dan Pemberdayaan Bahtera Alam.
Kawasan budaya dan ekologi yang masuk dalam kriteria NKT 6 di kawasan kampung adat suku Asli Anak Rawa Penyengat antara lain, makam nenek rambut panjang, leluhur masyarakat Kampung Adat Suku Asli Anak Rawa Penyengat. Selain itu ada makam para batin (pemimpin adat), diantaranya makam Batin Rimbun, makam Batin Teng, makam Batin Ambun. Rumah suku ini juga masih bisa ditemukan di wilayah tersebut.
Kedua desa memiliki nilai konservasi tinggi yang terpenuhi mulai NKT 1 hingga NKT 6. Nilai tersebut bisa berubah sesuai dengan perkembangan masyarakatnya, bisa meningkat atau menurun.
“NKT dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam membangun upaya kolaboratif konservasi dan perlindungan yang melibatkan banyak pihak. NKT juga dapat membuktikan eksistensi masyarakat adat beserta wilayah hak tradisionalnya seperti keberadaan hutan adat, makam, tempat keramat, keanekaragaman hayati, bentang alam dan sebagainya. Eksistensi ini bisa menjadi instrumen untuk melindungi masyarakat adat dari ancaman penguasaan tenurial secara luas,” terang Hasri.
Kearifan Lokal
Masyarakat adat memiliki budaya dan kearifan lokal yang masih dijalankan hingga saat ini. Diantaranya adalah upacara bele kampung, tujuh likow, badikegh (pengobatan) dan sejumlah pantang larang. Mereka percaya bahwa semua ritual tersebut bisa melindungi mereka dari bala atau bencana. Semua berkaitan dengan alam.
Menurut ketua adat suku asli anak rawa, Gul, bele kampung dilakukan masyarakat suku Asli Anak Rawa Penyengat untuk menjaga anak kemenakan dari berbagai bencana dan mara bahaya. Salah satu ritual yang selalu rutin diselenggarakan setiap tahun adalah tujuh likow. Acara ini untuk menghormati leluhur yang sudah tiada, digelar pada malam ke-27 bulan Ramadhan.
“Setiap menjalankan ritual adat, selalu ada pantang larang yang harus dipatuhi. Demikian pula dalam kehidupan sehari-hari. Apabila pantang larang dilanggar, binatang buas akan meraja lela dan bala akan datang ke kampung mereka. Adat istiadat itu sudah kami jalankan turun temurun dari nenek moyang dan harus kami pegang terus,” kata gul di acara semiloka yang membahas NKT di wilayah Masyarakat adat, akhir Mei 2024 lalu.
Keberadaan hutan bagi masyarakat adat, tidak hanya untuk menyediakan kebutuhan pangan, papan dan obat-obatan tetapi juga penting dalam menjalankan adat dan tradisi.
Masyarakat adat suku Sakai memiliki budaya pengobatan tradisional badikiegh. Mereka meramu berbagai tumbuhan herbal di dalam hutan atau pekarangan rumah sebagai obat menyembuhkan penyakit tertentu. Tokoh yang memiliki kemampuan pengobatan tradisional ini biasa disebut sebagai bomo atau dukun kampung.
Meskipun saat ini sudah ada pengobatan modern dan dokter desa, masyarakat Bathin Sobanga di Desa Kesumbo Ampai masih meracik tanaman herbal sebagai alternatif penyembuhan sebelum berobat ke balai pengobatan modern seperti puskesmas atau klinik.
Untuk satu penyakit bisa menggunakan 10 hingga 17 jenis bahan ramuan. Jenis tanaman yang sering digunakan sebagai ramuan antara lain papauh (Evodiaaromatica), sakat (Asplenium nidus), mandi lebah (Globa sp), menaah (Horsfielia majuscula), daun jarum-jarum (Artocarpus rigida), paga-paga (Ixora congesta), daun bani (Xylopia caudata), kayu sapu (Santiria griffthii), mao (Alphonsea javanica), ibu-ibu (Diospyros sumatrana), jangkang (Cyatochaliixmagnificus), lawang (Cinnamomum sp), kakaik (Ziziphus horsfieldii), semponang (Stephania sp), sempongkah (Discorea spp), dan kopau/kepau (Licuala cf. peltata). Ramuan tersebut dipercaya bisa menyembuhkan demam dan penyakit kulit.
Untuk menjaga keutuhan hutan adat, Masyarakat adat suku sakai Bathin Sobanga berharap mendapat pengakuan dari pemerintah.
“Kami berharap usulan kami ke pemerintah pusat bisa mendapat perhatian. Hutan adat kami seluas 18.000 ha segera mendapat pengakuan,” ungkap tokoh masyarakat adat suku Anak Rawa Penyengat, Kehong.*
Penulis: Anggun Alifa, WD Utami
Editor: WD Utami