SUMBER energi bersih dan terbarukan di alam ini sangat berlimpah. Khusus di Riau, ada energi matahari dan air yang bisa dimanfaatkan maksimal dan berbiaya murah. Pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) bisa dikatakan sebagai energi bersih, apabila proses dari awal hingga akhir tidak menimbulkan polutan.
Pemanfaatan limbah kelapa sawit seperti cangkang sawit yang tergolong sumber EBT, belum bisa dikatakan sebagi energi besih. Karena ada proses pembakaran di dalamnya. Pembakarannya tentu saja menimbulkan polutan berupa emisi karbon.
“Dalam menilai sebuah sumber energi baru terbarukan yang bersih harus melihat keseluruhan prosesnya. Secara ekonomi dan sosial pun tidak ada yang dirugikan,” kata Dosen Teknik Universitas Lancang Kuning, Ir Manur Putra Halilintar, MSi saat menjadi narasumber di acara Nonton Bareng (Nobar) Diskusi bertema Bagaimana Asrah Transisi Energi dalam Skema Riau Hijau di Toko Kopi Lin, Selasa, 10 Oktober 2023
Manager Media Trend Asia Widia Primastika mengatakan, secara ekonomi EBT lebih murah, tidak membutuhkan biaya transportasi yang Panjang yang tentu juga meninggalkan jejak karbon.
“Sebagai contoh adalah energi mikro hidro yang dimanfaatkan oleh masyarakat Batu Songgan, Kabupaten Kampar.Desa Distribusi listrik yang dihasilkan air sungai dikelola oleh desa.. Harganya murah dan iurannya bisa menambah pemasukan desa,” kata Tika, satu dari tiga narasumber yang dihadirkan di acara Nobar dan Diskusi.
Perencana Ahli Madya Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappeda Litbang) Provinsi Riau, Hapriadi Malik, Riau memiliki Program Riau Hijau yang merupakan komitmen Pemerintah Provinsi Riau terhadap pembangunan berwawasan lingkungan.
“Sebagaimana sudah menjadi komitmen global dalam SDG’s, Pemerintah Provinsi Riau mendukung hal-hal yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan hidup. Wujud komitmen tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Provinsi Riau No. 9 Tahun 2021 tentang Riau Hijau,” kata Hapriadi.
Pemerintah Provinsi Riau sudah melibatkan bergai unsur untuk keberhasilan program tersebut diantaranya perguruan tinggi, swasta, CSO dan media.
“Dari 49 lembaga yang menyatakan berkomitmen dengan pelaksanaan Riau Hijau, 39 diantaranya sudah menyusun rencana aksi,” imbuhnya.
Beberapa banguna kantor atau gedung milik pemerintahan di Pekanbaru, kata Hapriadi, sudah menggunakan panel surya sebagai sumber energi pendukung. Seperti kantor Bappeda, RS Petala Bumi dan lain sebagainya.
Sebagai pemantik diskusi, peserta diajak menonton film documenter berjudul Memukul Jatuh Mengadili PLTU produksi Bersama Trend Asia dan Tempo TV. Film tersebut memperlihatkan bagaimana dampak kehadiran PLTU Cirebon bagi kehidupan masyarakat sekitar.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) bersama Tim Advokasi Atas Keadilan Iklim beberapa waktu lalu menggunggat izin yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat terhadap pembangunan PLTU Tanjung Jati A di Cirebon. PLTU ini adalah PLTU ketiga yang akan berdiri di Cirebon. Walhi dan teman-teman menilai izin lingkungan PLTU telah melanggar asas tanggung jawab negara dan asas kehati-hatian. Sebab operasional PLTU mengakibatkan kerugian negara dan menjadi aset terlantar lantaran beban oversupply.
Selain itu, izin Lingkungan PLTU Tanjung Jati A ternyata juga tidak memuat analisis dampak lingkungan (Amdal) atas paparan emisi gas rumah kaca (GRK) dan kontribusinya terhadap pemanasan global serta perubahan iklim.
PLTU Tanjung Jati A 2 x 660 MW akan menghasilkan lebih dari 18 juta Ton CO2 setiap harinya yang akan berkontribusi bagi pemanasan global sebagai dampak perubahan iklim.
Menurut Widia Primastika, keberadaan PLTU Cirebon 1 atau PLTU Tanjung Jati A 2 x 660 MW sangat merugikan mayarakat di sekitarnya. Dimana keberadaan PLTU tersebut membuat banyak nelayan perempuan tidak dapat melaut.
“Nelayan yang tadinya suami istri melaut, gara-gara ada PLTU, istrinya tidak bisa melaut lagi. Yang tadinya penghasilan sebagai nelayan bisa menutupi kebutuhan hidup mereka, sekarang setelah adanya PLTU Cirebon 1 tidak bisa lagi lantaran berbagai dampak buruk dari energi kotor yang dihasilkan PLTU tersebut,” kata Widia.
Menurut Masnur Putra Halilintar keberadaan PLTU menjadi sumber polutan bagi wilayah di sekitarnya. Mulai dari penambangan batubara, distribusi, hingga pembakarannya menjadi tenaga listrik.
“Proses operasional PLTU hingga ke pembakaran, semuanya persoalan lingkungan. Dari beberapa penelitian, pencemaran kimianya sampai 28 partikulat yang bisa menyebabkan penyakit seperti gangguan pernapasan, sampai ke yang kronis bahkan kematian akibat pencemaran PLTU,” paparnya.
Masnur menilai, narasipolitik energi murah dan kepentingan lingkungan kerap bertolak belakang.
“Ketika kepentingan politiknya mengarah ke ekonomi, sudah pasti lingkungan diabaikan,” tuturnya.
Nobar dan Diskusi yang diselenggarakan oleh Sociaty of Indonesian Enviromental Journalis (SIEJ), Bentalanews.id yang didukung oleh Trend Asia berjalan sangat interaktif. Peserta yang berjumlah 25 berasal dari kalangan mahasiswa hukum, pers mahasiswa, NGO dan jurnalis tersebut antusias sekali mengikuti jalannya diskusi.
Koordinator SIEJ Simpul Riau, Ilham Yafiz berharap, diskusi dengan narasi lingkungan hidup bisa memberi perspektif dan berdampak bagi kelestarian alam. “Perubahan itu nyata, kita tidak bisa tinggal diam. Pemahaman dan pengetahuan masyarakat perlu dibangun agar bisa berbuat demi menyelamatkan bumi dari krisis iklim yang lebih ekstrim,” tandasnya.
Laporan: Anggun Alifa