PEKANBARU — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau meluncurkan Lembar Fakta berjudul “Pulau Kecil Rupat: Dihancurkan di Darat, Dirusak di Laut”, Selasa (8/2) di Rumah Gerakan Rakyat Walhi Riau. Lembar fakta tersebut dipaparkan dalam sebuah diskusi publik oleh Direktur Eksekutif Daerah Walhi Riau, Boy Jerry Even Sembiring dan penanggap Wakil Ketua Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Azlaini Agus serta dan Direktur Paradigma, Riko Kurniawan.
Boy menyebutkan, Walhi telah melakukan pemantauan dan assesment di Pulau Rupat selama dua bulan untuk mengumpulkan data. Ditemukan fakta bahwa Pulau Rupat adalah pulau kecil yang luasnya sekitar 1500 km2. Menurut Undang-undang Wilayah Pesisir Pulau Kecil, yang disebut pulau kecil adalah pulau yang sama atau lebih kecil dari 2000 km2.
“Dilihat dari data spasial, 77,9% wilayah Pulau Rupat adalah gambut. Pulau ini sedang mengalami berbagai ancaman perizinan baik di darat maupun di laut. Di darat, ada tujuh korporasi yang menguasai sekitar 61% daratan, sementara di laut ada tambang pasir yang mengakibatkan abrasi dan berkurangnya hasil tangkap nelayan,” kata Boy
Tidak hanya meninjau secara empiris, lanjutnya, Lembar Fakta tersebut juga menyajikan analisis kebijakan yang menunjukkan bahwasanya apa yang terjadi di Pulau Rupat tidak sesuai dengan amanat Undang-undang. Misalnya, terkait adanya tambang pasir, Pasal 35 huruf (i) UU Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) mengatakan “Setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.”
Menurut direktur Walhi Riau, penolakan terhadap tambang pasir di Pulau Rupat tidak hanya disuarakan oleh Walhi Riau, namun juga pemerintah seperti Dinas Pariwisata Provinsi Riau. Dalam surat gubernur kepada Kementerian ESDM, secara tegas dinyatakan bahwa penambangan pasir laut di Pulau Rupat bertentangan dengan status Pulau Rupat sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
“Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam surat yang sama juga menyatakan menolak tambang PT Logomas Utama karena dari sisi perizinan AMDAL perusahaan itu sudah kadaluwarsa,” ungkap Boy.
Menurut Azlaini Agus, ada sekitar 11 perusahaan yang memiliki izin tambang di pesisir Pulau Rupat. Ia berharap Walhi Riau dapat melakukan investigasi untuk memastikan tidak ada lagi penyesuaian terhadap perizinan tambang lain yang akan menambah ancaman terhadap Pulau Rupat.
“Tahun 1998, saya pernah menuntut moratorium perizinan tambang pasir di pulau kecil ketika terjadi penolakan masyarakat terhadap tambang pasir di Pulau Karimun. Moratorium keluar dan sampai sekarang belum dicabut. Tapi kenapa tiba-tiba tahun 2017 pemerintah mengeluarkan izin untuk Logomas Utama?” ucap Azlaini.
Selama ini, lanjutnya, orang tidak berani mengutak-atik perizinan karena ada moratorium. “Kita akan menyurati pemerintah dan akan melampirkan lembar fakta ini. WALHI juga bisa menyurati dan meminta KLHK melakukan audit. Mengenai sawit ini, ketika saya di Ombusman ada laporan tentang Marita Makmur Jaya, tidak semua berizin, tapi dia buat seolah-olah menjadi koperasi. Bodong semua koperasinya,” kata Azlaini.
Riko Kurniawan menambahkan, masalah perizinan industri ekstraktif di pulau kecil di Riau tidak hanya terjadi di Rupat, tapi juga berbagai pulau kecil lain di Bengkalis, Kepulauan Meranti, dan Pulau Rangsang. Jika tidak ada intervensi untuk menghentikan perusakan di pulau-pulau kecil tersebut maka seiring dengan adanya krisis iklim, pulau tersebut akan terancam tenggelam lebih cepat.
“WALHI Riau bersama Jikalahari pernah menggugat RTRW Provinsi Riau dan menang. Saat ini sedang disusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), itu yang harus kita kawal agar sesuai dengan daya tampung dan daya dukung lingkungan Provinsi Riau,” kata Riko.
Hadir dalam diskusi tersebut sejumlah kalangan dari unsur NGO, mahasiswa dan media massa. (rls)