Kemasan makanan dari sisi “food safety” bukan sekedar bungkus, tetapi juga sebagai pelindung agar makanan aman dikonsumsi. Kemasan pada makanan juga mempunyai fungsi kesehatan, pengawetan, kemudahan, penyeragaman, promosi dan informasi. Namun tidak semua kemasan makanan aman bagi makanan yang dikemasnya.
Dalam tiga darsawarsa terakhir, kemasan plastik mampu merebut pangsa pasar kemasan dunia menggantikan kemasan kaleng dan gelas. Di Indonesia kemasan plastik juga mulai mendominasi industri makanan, hingga menempati porsi 80%.
Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di 18 kota utama Indonesia menemukan 0,27 juta ton hingga 0,59 juta ton sampah masuk ke laut selama kurun waktu 2018. Salah satu sampah yang paling banyak ditemukan adalah sampah styrofoam.
Saat ini styrofoam makin banyak digunakan karena mudah didapatkan, tetapi sangat sulit untuk dihancurkan. Sampah styrofoam bertahan lama bahkan abadi karena styrofoam dapat terperangkap di lingkungan selama berabad-abad, jika tidak dikelola dan dikurangi penggunaannya.
.
Styrofoam membutuhkan waktu sekitar 500 – 1 juta tahun untuk dapat terurai oleh tanah. Itu pun tidak terurai sempurna, melainkan terpecah-pecah menjadi pecahan kecil plastik tak kasat mata yang disebut mikroplastik.
Sampah pelastik atau stryrofoam yang dibuang ke perairan, mikroplastiknya akan termakan oleh ikan. Bila ikan dimakan oleh manusia, artinya mikroplastik juga masuk ke dalam tubuh yang akan menimbulkan masalah Kesehatan pada manusia.
Kondisi ini membuat Indonesia darurat sampah Styrofoam. Lembaga The Antheia Project mengajak masyarakat untuk menyerukan Say No To Styrofoam guna meminimalisir sampah khususnya styrofoam. Masalah sampah, apalagi styrofoam tak kunjung usai dan punya dampak buruk bagi lingkungan.
The Antheia Project mengedukasi dengan pengelolaan sampah berkelanjutan dan rehabilitasi kehidupan laut untuk melindungi bumi. Tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kondisi lingkungan secara global tentang masalah sampah khususnya styrofoam kepada masyarakat luas.
“Kampanye #SayNoToStyrofoam merupakan sebuah respon atas kondisi darurat sampah styrofoam yang perlu dicari solusinya bersama-sama,” kata Co-Founder of The Antheia Project, Ruhani Nitiyudo dalam Konferensi Pers “Indonesia Darurat Sampah Styrofoam, #SayNoToStyrofoam Mulai Sekarang!,” Kamis (24/11) di Jakarta.
Dikatakan Ruhani Nitiyudo, pihaknya ingin mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk bisa merawat alam dalam kehidupan keseharian, agar bisa menciptakan kehidupan yang sehat dan harmonis dengan alam. Sampah styrofoam yang tidak dibuang merupakan masalah yang harus segera diatasi dan membutuhkan komitmen dari seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah pusat dan daerah. Kolaborasi dan kerjasama dengan berbagai pemangku kepentingan juga diperlukan untuk mendukung gerakan dan semakin banyak orang yang terlibat untuk bersikap baik kepada alam.
“Kami tidak bisa mewujudkan cita-cita bebas dari sampah terutama styrofoam. Kami butuh bantuan semua lapisan masyarakat bahkan pemerintah sebagai pemangku kebijakan,” ungkapnya melalui rilis yang diterima Redaksi Bentalanews.id.
Ruhani juga menyerukan kepada pelaku industri yang masih menjalankan business yang tidak sustainable. Ia menyebut perusahaan Indofood CBP Sukses Makmur dimana salah satu produknya POP MIE masih menggunakan styrofoam. Setiap kami melakukan aksi bersih – bersih kemasan POP MIE tidak pernah absen dari tumpukan sampah yang kami temukan.
“Kami menyerukan kepada Indofood CBP Sukses Makmur untuk menghentikan penggunaan styrofoam atau kemasan sekali pakai yang tidak ramah lingkungan yang merusak alam dan bumi yang merupakan masa depan bagi kami generasi muda,” jelasnya.
The Antheia Project ke depan akan mengirimkan surat terbuka kepada perusahaan seperti Indofood CBP Sukses Makmur dan perusahaan – perusahan lain yang masih menggunakan styrofoam untuk menghentikan penggunaan wadah makanan tersebut dengan menggantinya dengan wadah yang ramah lingkungan.
Ruhani menambahkan “The Antheia Project juga akan terus mengajak anak muda untuk lebih menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan dari rumah yaitu dengan mulai membiasakan diri memisahkan sampah. Selanjutnya kami juga akan melaksanakan kegiatan aksi bersih–bersih, yaitu aksi turun ke lapangan sehingga para peserta aksi bersih-bersih dapat melihat realitas problem sampah khususnya sampah styrofoam yang merusak lingkungan.
Direktur Penanganan Sampah, Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK), Dr. Ir. Novrizal Tahar IPM mengatakan Pemerintah sangat mendukung dan mengapresiasi kampanye #SayNoToStyrofoam. Semoga bisa memberikan pengaruh besar kepada publik, terutama kalangan generasi muda. Seperti kita ketahui sampah plastik masalah seluruh dunia, kalau sudah sampai laut masalahnya selamanya. Styrofoam juga masalah plastik yang paling sulit diurai.
Terkait dalam konteks itu pemerintah sudah melakukan banyak hal tentang pengelolaan sampah plastik. “Dalam hal kebijakan pemerintah memiliki kebijakan terkait pengurangan sampah plastik antara lain mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor. 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut,” katanya.
Pemerintah memiliki target ingin mengurangi sampah plastik 75 persen tahun 2025 serta akan mendorong road map 2030 antara lain single use plastic bag yang di dalamnya membahas sedotan dan styrofoam.
“Perlu banyak dukungan perilaku masyarakat untuk mendukung ini. Apa yang dilakukan oleh The Antheia Project sejalan dengan visi dan kebijakan pemerintah tentang single use plastic” ujar Novrizal.
Menurut Co-Founder & COO Garda Pangan, Dedhy Bharoto Trunoyudho, dalam menangani masalah sampah perlu peran semua pemangku kepentingan di sepanjang rantai pasok untuk mengatasi masalah banyaknya makanan yang terbuang. Mulai dari pemerintah yang memiliki peran sentral sebagai pihak yang berwenang membuat regulasi, sampai advokasi ke lingkup yang lebih luas agar masyarakat lebih sadar untuk bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan diri sendiri.
“Kita harus mulai dari diri sendiri dengan melakukan hal – hal kecil dan menjadikan ini menjadi jalan hidup,” ujar Novrizal.
Karakteristik wadah dari styrofoam
Dikutip dari artikel berjudul Keamanan Pangan Kemasan Plastik dan Styrofoam, Majalah Kedokteran Indononesia, Volum: 57, Nomor. 1, Januari 2007, styrofoam atau plastik busa masih tergolong keluarga plastik. Styrofoam lazim digunakan sebagai bahan pelindung dan penahan getaran barang yang fragile seperti elektronik. Namun, saat ini bahan tersebut menjadi salah satu pilihan bahan pengemas makanan dan minuman.
Bahan dasar styrofoam adalah polisterin, suatu jenis plastik yang sangat ringan, kaku, tembus cahaya dan murah tetapi cepat rapuh. Karena kelemahannya tersebut, polisterin dicampur dengan seng dan senyawa butadien. Hal ini menyebabkan polisterin kehilangan sifat jernihnya dan berubah warna menjadi putih susu.
Kemudian untuk kelenturannya, ditambahkan zat plasticizer seperti dioktil ptalat (DOP), butil hidroksi toluena atau butyl stearat. Plastik busa yang mudah terurai menjadi struktur sel kecil merupakan hasil proses peniupan dengan menggunakan gas klorofluorokarbon (CFC). Hasilnya adalah bentuk seperti yang sering dipergunakan saat ini. CFC ini menjadi penyebab efek rumah kaca.
Pemakaian styrofoam sebagai kemasan atau wadah makanan karena bahan ini memiliki beberapa kelebihan. Bahan tersebut mampu mencegah kebocoran dan tetap mempertahankan bentuknya saat dipegang, mampu mempertahankan panas dan dingin tetapi tetap nyaman dipegang, mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, biaya murah, serta ringan.
Hasil kajian Divisi Keamanan Pangan Jepang pada Juli 2001 mengungkapkan bahwa residu styrofoam dalam makanan sangat berbahaya. Residu itu dapat menyebabkan endokrin disrupter (EDC) suatu penyakit yang terjadi akibat adanya gangguan pada sistem endokrinologi dan reproduksi manusia akibat bahan kimia karsinogen dalam makanan.
Semakin lama waktu pengemasan dengan Styrofoam dan semakin tinggi suhu, semakin besar pula migrasi atau perpindahan bahan- bahan yang bersifat toksik tersebut ke dalam makanan atau minuman. Apalagi bila makanan atau minuman tersebut banyak mengandung lemak atau minyak.
Toksisitas yang ditimbulkan memang tidak langsung tampak. Sifatnya akumulatif dan dalam jangka panjang baru timbul akibatnya. Sementara itu CFC sebagai bahan peniup pada pembuatan styrofoam merupakan gas yang tidak beracun dan mudah terbakar serta sangat stabil. Begitu stabilnya, gas ini baru bisa terurai sekitar 65-130 tahun.
Gas tersebut akan melayang di udara mencapai lapisan ozon di atmosfer dan akan terjadi reaksi serta akan menjebol lapisan pelindung bumi. Apabila lapisan ozon terkikis akan timbul efek rumah kaca. Bila suhu bumi meningkat, sinar ultraviolet matahari akan terus menembus bumi yang bisa menimbulkan kanker .
Ignatius Mario dan Puspa Salsabila selaku Project Manager The Antheia Project pada kesempatan tersebut memberikan edukasi tentang waste management. Pengelolaan sampah merupakan aktivitas untuk mengelola sampah dari awal hingga pembuangan, meliputi pengumpulan, pengangkutan, perawatan, dan pembuangan, diiringi oleh monitoring dan regulasi manajemen sampah.
Styrofoam adalah salah satu jenis plastik yang tidak dapat terurai dengan sempurna dan bisa berubah menjadi mikroplastik. “Salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menghindari pemakaian styrofoam untuk membungkus makanan adalah membawa wadah sendiri dari rumah,” kata Puspa.
“Kami menghimbau kepada seluruh generasi muda untuk mengurangi penggunaan styrofoam untuk kehidupan bumi yang lebih sehat ke depan. Mari mulai berkontribusi dengan repot membawa wadah makanan, minum, sendok makan dan sedotan dari rumah” tambah Mario. *
Editor: WD Utami